[23] Remedi

4 0 0
                                    

"Apa yang terlintas dalam pikiran kamu ketika mendengar kata 'remedi'?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa yang terlintas dalam pikiran kamu ketika mendengar kata 'remedi'?"

Aku bertanya demikian ke seseorang di seberang. Setelah sekian detik saling memandang, pandangannya terbuang. Sepertinya minatnya untuk mendengar keluh kesahku sudah hilang.

Jadi, aku diam. Memilih untuk kembali meraih garpu di piring berisi irisan berbagai macam buah, sebelum menusuk bengkuang dan mencelupkannya ke bumbu rujak manis yang tersedia. Sementara tangan kiri bergerak menggeser tampilan Pinterest untuk menampilkan gambar lainnya.

Sekian menit membisu, dia akhirnya menyebut namaku.

"Dhan?"

Fokusku teralih dengan cepat, meninggalkan layar ponsel yang sejak tadi menampilkan gambar berbagai macam donat. "Hm?" jawabku singkat.

"Mau cerita sesuatu?" tanyanya.

Mengangkat bahu, aku memberi tahu, "Tapi sepertinya kamu lagi nggak mau mendengarkan aku,"

"Just tell me," sanggahnya.

Well, kalau ini yang dia mau.

Aku berdeham. Meletakkan ponsel di meja, menekuk kaki kiri di atas sofa agar lebih nyaman saat menghadapnya. Lalu meraih bantal sofa untuk kupangku. Begitu posisi duduk sudah terasa nyaman, aku membuka obrolan, "Kamu itu kok ngeselin, sih? Kayak jelangkung. Kayak bebek. Suka tiba-tiba ngilang, lalu seenaknya datang. Kadang menjadi diam, kadang juga cerewet, berisik."

Doyoung hanya diam. Dia melipat kedua tangan di depan dada sebelum menempelkan punggungnya ke sandaran sofa. Tatapannya seakan menunjukkan bahwa dia mengerti kalau aku masih akan bicara panjang lebar di depannya.

Jadi, aku melanjutkan, "Kemarin malam ada yang ke rumah. Teman. Cowok. Sendirian. Kami kenal daring. Sejak awal dia memang menunjukkan keseriusan, hanya saja aku nggak terlalu memberi tanggapan. Ketika akhirnya ketemu, aku beneran bisa lihat di level mana ketulusannya."

"Terus? Mau sama dia?"

Aku menggeleng. "Aku mimpi kamu kemarin."

Doyoung menarik punggung menjauhi sofa. Tangannya terurai, berganti ditempelkan ke atas lutut. Perhatiannya semakin tercurah padaku. Dia tertarik atas pengakuanku.

"Dia sudah meminta izin beberapa hari yang lalu untuk ke rumah, tapi baru kemarin aku menyetujuinya. Setelah aku mimpi ... kita," ujarku.

Mulut Doyoung terbuka sebelum akhirnya kembali rapat seperti semula. Entah apa yang ingin dia ucapkan sebenarnya.

"Di saat aku berpikir untuk memulai dengan orang baru, beranggapan bahwa nggak ada salahnya kembali membuka hati, kamu muncul di mimpi. Kenapa tadi aku menyebut perkara remedi? Aku hanya menyadari kalau ternyata jawabanku atas 'ujian' yang Dia berikan waktu itu memang salah. Makanya kini permasalahan yang aku terima nggak jauh berbeda dari sebelumnya. Iya, waktu itu aku di posisi ini."

MERAYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang