Penenang

11 0 1
                                    

"Aahh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Aahh ... Ha-harus nyapa?" tanyaku pelan, nyaris terdengar seperti seorang anak yang baru belajar bicara.

Doyoung mendengkus. "Ngapain?"

"Hah?"

"Ngapain di apotek?" ulangnya.

Aku segera merapatkan kepalan tangan kiri ke badan. Sialan. Dari banyaknya kemungkinan menyebalkan yang bisa aku dapatkan, kenapa harus bertemu dengannya di tempat ini, sih?

"Aaahm ...." Aku membuka mulut sementara otak terus berputar mencari jawaban agar tidak memicu kemarahan.

"Ngapain di sini? Beli apa? Obat apa yang di tanganmu itu? Siniin!" Doyoung kembali mencecar dengan pertanyaan.

Aku berdeham sekali. "Jangan marah," ucapku akhirnya.

Lagi-lagi, dengkusan menjadi respons pertamanya. "Udah dibilangin juga!"

"Ya makanya jangan marah," balasku.

"Gimana nggak mar—"

"Sakit, Doy! Aku nggak bisa tidur! Aku capek. Berisik. Bener-bener sakit rasanya. Aku nggak kuat," potongku setelah menatapnya.

Doyoung mengerjap. Bibirnya tertutup rapat. Hal apa yang sebenarnya sedang dipikirkan dia sungguh sulit ditebak.

Sampai akhirnya dia kembali mendecak, membuatku lantas menunduk dalam.

"Aku serius," ucapku penuh ragu. Takut dimarahi lagi. "Cuma begini caraku bisa kayak orang-orang."

Sedetik kemudian kulihat sepatu Doyoung mendekati sepatuku. Tak butuh banyak waktu, aku sudah merasakan dagunya di bahu dengan kedua tangannya melingkar sempurna di balik punggungku.

Sialnya, aku justru terisak-isak saat mendapat perlakuan semacam itu.

"Maaf. Maaf karena aku masih nggak bisa nemenin kamu, masih nggak bisa nenangin kamu secara langsung begini. Maaf karena masih juga nggak bisa selalu ngasih hal yang paling kamu butuhin. Maaf masih bikin kamu berjuang sendiri. Maafin aku," tuturnya.

Saat aku mengangguk pelan, dia mengeratkan pelukan sembari menjelaskan, "Tapi, please, jangan lagi beli obat, ya? Please. Demi kesehatan kamu sendiri. Please. Aku akan usahain untuk menghubungi kamu di saat-saat itu. Biar bisa tidur tanpa perlu mengonsumsi penenang apapun lebih dulu. Ya?"

Mendengar semua omongannya, membuatku tidak mampu berkomentar apa-apa selain menganggukkan kepala.

Lalu merasakan satu tangannya meraih tangan kiriku. Membuka genggamannya dan mengambil alih obat yang sebelumnya kuremas.

Semoga dia sungguh akan melakukan  yang barusan dijanjikan.

Semoga.

Sebab, aku sendiri pun khawatir kalau harus terus mengandalkan obat-obatan.

.

[]

.

20191212

MERAYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang