[23] Tidur sama Ibu

4 0 0
                                    

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"

"Dhan?"

Dhani menoleh ke samping kanan sembari memberi sahutan, "Hm?"

"Kenapa?"

Menyadari kemana arah pertanyaan sang teman, Dhani balik memberi pertanyaan, "Apanya?"

Doyoung menghela napas. "Udah turun berapa kilo?"

"Kenapa?"

"Keliatan kurus banget dari terakhir kali ketemu," jawab Doyoung sebelum beranjak dari duduknya. Mendekat ke Dhani yang duduk di lantai beralaskan karpet dan bersandar di pembaringan, dia lantas menautkan tangan. Meremas-remas pelan jemari Dhani, Doyoung sadar benar bahwa temannya ini sungguh telah kehilangan banyak berat badan.

Dhani hanya tersenyum rikuh. Bukan bermaksud tidak menghargai perhatian Doyoung, tetapi dia sedang tidak berminat bercerita banyak-banyak tentang hidupnya belakangan. Segalanya terasa menyakitkan, menyulitkan, melelahkan, pun memalukan.

"It's okay not to be okay," kata Doyoung lagi.

Dalam sekejap Dhani menjawab, "Selama itu terjadinya nggak tiap hari, Doy." Melihat Doyoung hanya memberi respons dengan helaan napas, Dhani memperjelas, "Emang kapan kita terakhir ketemu? Bukannya sebulan yang lalu? Bukannya kamu tau ya kalo aku ini tipe yang sulit nurunin berat badan?"

Mengangguk, Doyoung seakan membenarkan semua pertanyaan. "Sebulan yang lalu, setelah kamu ketemu Victor. Kamu itu sebenarnya gampang kehilangan berat badan. Menurutmu aku nggak ngerti kenapa selama ini kamu menghindari nasi?"

Lagi-lagi Dhani hanya tersenyum.

"Aku udah denger dari bunda. Kamu sakit seminggu ini. Dan liat apa yang akhirnya terjadi? Badan kamu keliatan nggak normal lagi," ujar Doyoung tanpa basa-basi. Sungguh, dia merasa aneh melihat Dhani bisa sekurus ini, karena sebelumnya--selama mereka bersama--anak itu tidak pernah menanggalkan predikat chubby.

"Katanya tau kalo aku sebenarnya gampang nurunin BB?"

Mendecak, Doyoung mengakhiri tautan tangan mereka. "Ya tapi siapa yang nggak risih liat kamu sakit, sih?"

Banyak hal yang ingin Dhani utarakan ketika mereka berhadapan, seperti yang sudah dia rencanakan. Namun, ternyata tiba-tiba dirinya dikuasai rasa enggan. Entah itu membuat banyak gerakan atau sekadar menyuarakan pikiran. Di sisi lain, Dhani juga menyadari bahwa satu temannya ini tidak akan berdiam diri sebelum mendapat banyak informasi dan konfirmasi atas segala hal yang terjadi selama dia pergi.

Seperti yang sudah terucap, ibunya memberi tahu bahwa Dhani sempat mendapat perawatan di satu klinik swasta dekat rumah. Doyoung hanya tidak menyangka dari sekian banyak kesakitan mental yang sudah dialami--selama ini--baru kali ini bisa juga menjatuhkan kesehatan fisik Dhani.

Separah apa deritanya kali ini? Seberat apa beban yang bertengger di pundak temannya ini? Sekeras apa belenggu yang berhasil menahan kedua kaki? Sebanyak apa tumpukan luka yang dia simpan dalam hati? Seburuk apa perlakuan mereka yang telah membuatnya hilang kendali?

Doyoung sungguh butuh informasi secara rinci. Bukan bermaksud melewati batas privasi, hanya saja dia menyadari bahwa yang dibutuhkan Dhani saat ini bukan sekadar kata-kata penuh afeksi.

"Masih nggak mau ngomong?" Doyoung kembali bersuara karena pertanyaan sebelumnya belum juga dijawab oleh Dhani.

"Aku ingin makan pedas," ucap Dhani akhirnya. Sama sekali tidak nyambung dan memang sengaja mengalihkan topik pembicaraan. Doyoung paham.

"Nggak ada lagi makanan pedas. Mau makan bubur lagi beberapa hari ke depan? Masih mau lebih lama minum obat tiga macam, sehari tiga kali? Kalo mau ya ayo aku anterin beli seblak. Biar sekalian nginep sebulan di dokter Iman," tutur Doyoung.

Kali ini Dhani mendecak. "Aku lho cuma ngomong kalo ingin makan pedas, bukan minta beliin makanan pedas."

"Sekali aja ngomongnya itu dipikir dulu kenapa, sih? Jangan bikin orang geregetan! Udah gak ngabari pas sakit, sekarang pas baru bisa bareng malah bermaksud nyuruh nemenin di rumah sakit?" Doyoung masih bersungut-sungut merespons ucapan Dhani.

"Pulang deh, sana. Berisik!"

Mulut dan mata Doyoung terbuka lebar bersamaan. Merasa tidak yakin atas kerja indera pendengarannya sekarang. Ya Tuhan, kenapa aku harus diberi peduli ke teman semacam ini, batinnya.

"Kamu itu mau apa sih sebenarnya?" Doyoung bertanya setelah mengusap wajah geregetan.

"Tidur--" jawab Dhani singkat.

Baru saja Doyoung akan memberi tanggapan, ucapan Dhani selanjutnya berhasil membuatnya bungkam.

"--sama ibu."

Lalu Dhani bergerak menuju pembaringan, memeluk guling dan memunggungi sang teman.

Sedangkan Doyoung masih mematung di posisinya. Pikirannya tiba-tiba kosong. Pandangannya entah kemana. Bahkan suara detik jam yang sejak tadi menguasai ruangan ini mulai tidak terdengar lagi. Apa pendengaran Doyoung sudah kehilangan fungsi atau memang seingin itu Dhani untuk mati?

Tolong, katakan bahwa saat ini gue sedang bermimpi, ucap Doyoung dalam hati.

"Gajima," suaranya lirih. (Korea : jangan pergi)

Dari posisinya, Dhani masih bisa mendengar ucapan Doyoung barusan. Tanpa memberi sahutan, Dhani semakin menyembunyikan kepala di bawah bantal. Seakan berusaha menunjukkan bahwa ucapan tersebut sama sekali tidak berguna.

 Seakan berusaha menunjukkan bahwa ucapan tersebut sama sekali tidak berguna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

230615,
yourj.

MERAYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang