[24.2] Anomali

5 0 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


.... Walaupun aku tetap sedih, tapi aku mikirnya nggak apa-apa Juan happy walaupun kebahagiaannya bukan dari aku doang ...

Bibirnya tergerak pelan. Mencetak tipis senyuman, seakan tidak percaya atas apa yang didengar barusan. Namun, dia memilih untuk tetap diam meskipun dalam hati sudah penuh dorongan untuk berkomentar.

Setidaknya sebelum perempuan yang sejak tadi duduk di hadapan memberi pancingan. Sebab yang diucapkan terdengar begitu menjerumuskan jika saja jawabannya tidak selaras dengan yang diharapkan. Dan, Aska sadar benar apa yang menanti di depan.

"Apa kebanyakan cowok memang gini ya, Ka?" ucapnya.

Aska menghela napas panjang. Perempuan, batinnya. Ada aja yang dijadikan bahan keributan.

Seakan mengerti bahwa Aska sedang mempersiapkan jawaban, Bira keluar dari aplikasi yang baru saja menyajikan cuplikan obrolan antara pasangan selebgram di salah satu podcast terkenal. Meletakkan ponselnya di meja, Bira kemudian berdiri sambil tangannya meraih bantal untuk digunakan sebagai penutup paha ketika satu kakinya ditekuk di atas sofa. Kini mereka berdua duduk berdampingan dengan dia yang sepenuhnya menghadap ke arah Aska.

Namun, Aska tetap menatap ponselnya. Dia hanya yakin bahwa Bira akan mau lebih lama menunggu untuknya menyelesaikan satu permainan.

"Masih utuh turret-nya," Bira berkomentar.

Kali ini senyum Aska lebih lebar. "Ya kan cuma Brawl, bentar lagi kelar."

"Bisa sambil ngobrol tapi kan?"

Astaga, batin Aska kembali menjerit. Sepertinya dia memang tidak ditakdirkan untuk berkelit. Akhirnya dia memberi anggukan. "Bisa, Sayang. Kenapa?" ucapnya.

Bira berdeham. Entah mengapa dia masih saja bisa salah tingkah setiap kali panggilan itu yang digunakan Aska. Dia mengalihkan tatapan, takut Aska menyadari kalau pipinya mungkin sudah kemerahan.

Aska terkekeh pelan. Dia jelas mampu membaca situasi walau hanya dari satu lirikan. Sebab dari awal pun dia selalu memperhatikan reaksi Bira setiap kali kata itu diucapkan. Dan, memang tidak pernah ada perubahan. Aska tahu benar alasannya, tetapi masih sulit untuk percaya bahkan setelah selama ini mereka bersama.

"Memangnya semua cowok berpikiran seperti si Juan itu ya?" ucap Bira akhirnya.

Sedikit menegakkan punggung, Aska mengangkat bahu. "Ya mungkin ada yang seperti itu. Makanya kan nggak semua cowok sama," jawab Aska penuh kehati-hatian.

"Kamu seperti dia juga?"

Bener kan! Tepat kan! Kampret! Aska mengomel dalam hati mendengar pertanyaan Bira tepat seperti dugaan.

..... Victory .....


"Akhirnya," Bira kembali bersuara tatkala mengetahui permainan Aska berakhir kemenangan.

Akhirnya waktunya penyiksaan, batin Aska.

Penuh keluhan, tetapi dengan penuh kesadaran pula Aska paham bahwa perempuan yang kini menjadi pasangannya ini hanya butuh banyak perhatian. Sebab dalam hati kecilnya, apa yang diucapkan Juan dalam podcast tadi juga dia benarkan.

Iya, Aska pernah melihat juga cuplikan tersebut.

"Kamu sendiri merasa sependapat dengan Eve?"

Bira mengernyit mendapat pertanyaan balik. Dia tidak suka hal semacam ini.

"Aku yang tanya duluan, Ka," sanggahnya.

"Kasih aku jawaban dulu. Aku udah pernah nonton itu, Sayang." Aska menahan diri sekuat tenaga untuk tidak menyerang Bira setiap kali reaksi salah tingkah itu tertangkap mata. Anjir ini bocah. Gemesin banget, keluhnya.

Bira sengaja membuang napas keras-keras. Dia selalu kalah dari pawangnya. "Iya," jawabnya singkat.

Aska tersenyum lagi. Namun, kali ini disertai genggaman di tangan Bira. "Dasar bucin," katanya.

Bira hanya mengangguk sebagai bentuk tanggapan. Dia tidak akan pernah menyela ketika seseorang bahkan terdengar seakan memberi olokan, jika yang diucapkan memang apa yang dia rasa dan lakukan.

"Nggak semua cowok sama, Ra. Tapi, sialnya, kamu dapat cowok yang memang seperti dia." Aska berkata sepelan mungkin, berharap Bira menangkap maksud ucapannya. "Dan, kamu tau aku nggak akan minta maaf untuk itu," tambahnya.

Lagi, Bira memberi anggukan.

"Kenapa kamu bisa merasa apa yang Eve rasa dan pikirkan?"

Bira akhirnya balas memainkan jemari Aska. "Karena untuk ukuran orang yang sejak kecil sendirian, pasangan memang berarti segalanya, bahkan jika harus dibandingkan dengan ikatan atas dasar darah."

Aska tersentak mendengar jawaban Bira. Seberapa besar luka pasangannya ini sebenarnya.

"Bucinku selalu jadi bahan tertawaan, seakan memang sebatas guyonan. Tapi balik lagi seperti yang tadi kamu ucapkan. Nggak semua cowok sama, tepatnya, nggak ada satu pun manusia yang sama ... dari sisi mana saja. Aku hanya bisa berusaha untuk menunjukkan apa yang sebenarnya aku rasa. Jujur, iya, aku selalu berharap dihargai atas semuanya."

"Kamu memang berharga,"

"Kamu melihatnya setelah pergi begitu saja,"

Aska melepas genggamannya. "Kita sepakat untuk nggak membahas itu lagi," ujarnya.

Bira mengangguk. "Aku nggak akan minta maaf untuk itu."

Aska menyalin gerakan Bira sebelumnya. Mengangguk mantap, dia lantas menjawab, "Karna memang aku yang harus minta maaf dalam hal itu."

Setelah memberi senyuman dan elusan ringan di pipi Aska, Bira mengubah posisi jadi berbaring. Entah mengapa ganjalan di dadanya seolah terkikis. Tidak semua, setidaknya mulai menipis. Menyembunyikan tangis, Bira sadar bahwa sejauh ini hidupnya sudah terasa sangat tragis.

Kini dia hanya berharap, semoga tetap seperti ini yang tertanam dalam pikir; bahwa bukan hanya rupa manusia yang berbeda, melainkan sifat dan sikap juga. Tidak ada satu pun yang sama. Tidak ada, batinnya.

Bira tidak boleh menuntut Aska untuk berpikir sepertinya. Dia hanya perlu terus berusaha memperbaiki diri sendiri agar senantiasa bisa menerima dan mengimbangi segala anomali.

 Dia hanya perlu terus berusaha memperbaiki diri sendiri agar senantiasa bisa menerima dan mengimbangi segala anomali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


LMJ20240801,
yourjemblem.

MERAYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang