Stay

14 1 1
                                    

Seperti biasa, aku menatap dan memutar Heartbeat yang melingkari jari setiap kali menunggu kehadiran sang pemberi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Seperti biasa, aku menatap dan memutar Heartbeat yang melingkari jari setiap kali menunggu kehadiran sang pemberi.

Namun, tetap saja ada yang tidak biasa kali ini.

Jika sebelum-sebelumnya aku menunggu dalam kekesalan karena dia tidak datang tepat waktu sesuai janji, kali ini keberadaanku di sini diselimuti emosi yang mengusik hati.

Bayangkan, kekasih yang beberapa hari tidak bisa kamu hubungi tiba-tiba bersedia menemui. Aku tahu, dia memang tipikal orang yang bila menghadapi masalah akan memutus komunikasi selama beberapa hari untuk menetralkan emosi. Hanya saja ... ya Tuhan, kali ini masalah yang dia hadapi tidak sekadar butuh penenangan hati, tetapi pengawasan agar dia tidak melakukan hal di luar ekspektasi.

Di menit kedelapan sejak duduk di sini, akhirnya telinga mendengar ucapan selamat datang dari wanita di belakang meja kasir. Sapaan basa-basi tersebut membuat kepalaku sontak bergerak menatap pintu masuk, sampai akhirnya tatapan kami bertemu.

Aku tersenyum melihatnya. Walaupun selebar apapun senyum yang terlukiskan, kuyakin dia sebenarnya paham bahwa itu hanyalah sebuah paksaan.

Ya. Aku terpaksa tersenyum.

Sebab, jika menuruti hati, tidak seharusnya aku mengulas senyum. Di saat-saat begini, aku sungguh bersyukur karena papa selalu mengingatkan untuk mengutamakan logika. Sesekali menomorduakan perasaan tidak ada salahnya.

"Hai!" sapaku saat Hanbin akhirnya tiba di hadapan.

Dia menurunkan masker sampai batas dagu, menipiskan bibir dan mengangkat alis. Lingkar matanya terlihat sangat jelas tatkala dia duduk di depanku. Mengeluarkan ponsel, menaruhnya di meja, dia lantas menempelkan punggung di sandaran kursi.

Ya. Dia tidak membalas sapaanku. Jangankan bersuara, mengecup dahi seperti yang biasa dia berikan ketika bertemu saja, kali ini tidak dia lakukan.

Oh, mama, ini menyakitkan!

Melihat Hanbin begini, rasa sakitnya sungguh menyentuh relung hati.

Tidak ingin membuatnya semakin terpuruk, akhirnya aku berdeham pelan dan berceletuk, "Habis belanja, ya? Rasanya aku tidak pernah melihat kamu pakai kaus itu sebelumnya."

Hanbin menunduk, memandang kaus ungu tua bertuliskan 'Who said life is fair?' di bagian depan. Dalam hitungan detik, kepalanya bergerak naik-turun sebagai tanggapan atas ucapanku barusan.

Hm ... dia masih tidak mau bicara.

Well, nyaris seluruh orang yang menggemari musik Korea pasti sudah mengetahui masalah yang menimpanya. Seperti yang diberitakan, tidak lama setelah masalahnya dipublikasi oleh media, Hanbin memang sempat menghilang entah ke mana. Dia hanya mengirimkan pesan singkat sebelum akhirnya tidak bisa kuhubungi.

미안해.

Hanya itu isi pesannya.

Oke, aku tidak mau membahas bagaimana masalah ini sebenarnya. Karena fokusku mengajak bertemu bukanlah itu. Aku perlu melakukan hal lain selain menanyainya perihal kasus.

Aku perlu menghiburnya.

Aku perlu menunjukkan kalau akan tetap di sisinya, berdiri di sampingnya, memberi tahu bahwa dia tidaklah sendiri. Jika memang seluruh dunia memaki, maka dia harus tahu bahwa aku akan tetap di posisi dengan keyakinan sepenuh hati.

Karena untuk saat ini caraku melindunginya hanyalah itu. Jika aku ikut bersedih ketika dia sedang terpuruk begini, maka tidak ada gunanya dong, kami berbagi hati dan atensi selama ini.

Aku tahu sih, bahwa apa yang kulakukan saat ini hanya bisa mengalihkan perhatiannya sebentar. Namun, tidak ada salahnya mencoba. Siapa tahu saja dia akhirnya bisa benar-benar mengembuskan napas lega.

Jadi, langsung saja aku bertingkah seperti sebelum adanya masalah sialan ini.

"Hanbin, kamu ingat paman Jang, kan?"

Dahi Hanbin berkerut.

Sepertinya dia lupa paman Jang mana yang kumaksud.

"Ih, masa lupa? Paman Jang yang rumahnya di sebelah rumahku itu, lho. Ayahnya Minho. Jang Minho. Anak SD yang dulu nabrak kamu pakai sepeda sampai kalian masuk got bareng," jelasku.

Reaksi yang Hanbin tunjukkan sedikit berkembang. Kali ini dia bergumam 'aaah', seakan menunjukkan bahwa dia sudah menemukan kepingan ingatannya seputar paman Jang.

"Dia kenapa?"

Aku melotot. Nyaris tidak percaya kalau Hanbin akan mengeluarkan suara. Namun, dengan cepat kunetralkan kekagetan dengan melempar senyuman. "Kemarin subuh dia bikin aku dan keluarga nyaris kena serangan jantung!"

Reaksi Hanbin makin membaik. Dia menarik punggung dari sandaran kursi, menempelkan kedua tangan di meja lalu bertanya, "Kok bisa?"

Aaaaah, mamaaaaa! Rein ingin nangis! Rein mau nangis saja lihat Hanbin akhirnya mau bicara!

Menggeleng samar, aku meredam jeritan hati semaksimal mungkin.

Aku tidak boleh menangis di depan Hanbin. Tidak boleh. Dia sedang butuh dukungan, bukannya tangisan dari jutaan orang yang mengenal.

"Pas subuh kan, papa baru pulang. Jadi, sekalian deh kami salat berjamaah saja. Eh, ketika aku mau mandi, tiba-tiba ada jeritan dari rumah sebelah. Mama kaget dong, makanya beliau langsung lari keluar. Bareng papa dan aku juga. Tidak tahunya paman Jang ribut karena Rona ditabrak motor!"

"Mwo?!" sahut Hanbin.

"Iya, kucing hitam yang selalu kamu takuti itu ditabrak motor. Kakinya patah. Karena tidak mungkin ada dokter hewan yang buka subuh, jadinya papa deh yang ngasih pertolongan pertama buat dia. Seketika Minho diam. Tidak menangis lagi. Ya, jadi sepi lagi deh."

Satu ujung bibir Hanbin terangkat ke atas. Sekali lagi membuatku ingin menangis meski menyadari bahwa dia masih sulit untuk melepas senyum lebar seperti biasa.

"Ya beruntung dia dapat ditolong begitu," kata Hanbin.

Aku mengangguk antusias. "Seandainya Rona bisa bicara, mungkin dia akan langsung bersyukur banget bisa dapat pertolongan pertama jadi tidak kehilangan nyawa."

Hanbin tersenyum tipis sembari mengangguk.

Menghela napas, aku kemudian memperjelas, "Sama halnya dengan kita sebagai manusia. Ketika dihadapkan pada banyak masalah dan berpikir hanya sendiri di dunia, nyatanya ada yang terjaga buat kita dengan atau tidak disengaja."

Ekspresi Hanbin berubah. Dia menatapku lurus, tetapi tidak lagi penuh cinta. Aku bisa menangkap matanya yang memancarkan kecewa. Mungkin karena aku mengungkit masalah yang sedang dihadapinya?

"Gwaenchana, Hanbin-ah. Setiap orang sudah pasti pernah berbuat salah. Namun, bukan masalah benar atau salahnya yang harus kita pikirkan, melainkan bagaimana kita menyikapinya. Kita bisa menghadapi dan mengakui kesalahan lalu menyelesaikan. Atau justru lari dari kenyataan. Pastinya, kamu tidak pernah sendirian. Akan ada setidaknya satu orang yang mau bertahan, tetap merangkul meski dunia melayangkan hujatan. Dan, dalam kasus kamu, tidak hanya satu orang yang bertahan. Percayalah kalau bukan hanya aku yang saat ini tetap mendukung kamu. Ada eomma, appa, anggota, mama dan papa juga."

Dan, cairan bening itu akhirnya menuruni pipi Hanbin. Beberapa detik kemudian, tanpa menyembunyikan tangis, tangannya bergerak pelan meraih tanganku. Hanya dalam hitungan detik, kurasakan remasan lemah dalam tautan tangan kami berdua.

"Terima kasih," lirih Hanbin.

Aku mengangguk. Mengusap mata, aku tersenyum sebelum berkata, "Terima kasih juga karena bersedia bertemu. Sungguh tidak apa-apa. Akan ada saat di mana semua kembali seperti sebelumnya."

.

×××[fin.]×××

20190616
.

MERAYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang