Beda

15 1 2
                                    

"Doy?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Doy?"

Sedetik setelah kusebut namanya, Doyoung dan aku langsung bertemu mata. Dia menelengkan kepala, menatapku penuh tanya sebelum akhirnya menggerakkan dagu sekali dan bersuara, "Apa?"

Aku tidak segera menjawab. Hanya balas menatap sampai akhirnya Doyoung kembali memutuskan untuk menyantap ayam gorengnya.

Ketika akhirnya tulang paha ayam di tangannya bersih, barulah aku menyuarakan isi hati. "Kok aneh ya, Doy?"

"Apa?" Doyoung kembali bersuara dengan satu kata yang sama seperti sebelumnya.

Membuang napas keras-keras, aku akhirnya mendekat ke meja. Menekuk kedua tangan di atasnya dan sedikit mendekat ke Doyoung. Dengan maksud agar obrolan kami tidak ada yang mencuri dengar.

Namun, sialnya Doyoung menjauhkan kepala dengan cepat. Matanya mengerjap tak kalah cepat dari gerak barusan. Lalu satu tangan memegang tengkuk dan bibirnya bergerak pelan, "Ke—kenapa harus gini?"

Bola mataku otomatis berputar. "Doy, nggak ada yang salah! Sini! Aku nggak ingin ada yang dengar, tau!"

Doyoung berdeham sekali sebelum akhirnya kembali mendekat ke meja. Namun, kepala kami tidak sedekat tadi. "Apa yang aneh? Aku? Wajahku? Ada sesuatu di gigiku, ya? Kalau memang begitu, harusnya bilang aja. Nggak perlu tiba-tiba mangkas jarak begitu!"

Lagi, bola mataku otomatis berputar mendengar celotehannya.

"Makanya dengerin dulu!" ucapku kesal.

"Iya. Apa, sih?"

Menoleh ke sekitar sekali lagi, aku akhirnya benar-benar menyuarakan isi hati. "Kamu tau sendiri aku pernah kayak gini. Maksudku, pacaran sama orang kayak doi. Tapi, Doy, kenapa rasanya beda ya, kali ini? Apa ini hanya bentuk hati-hati karena pernah tersakiti? Atau karena ketidakpercayaan diriku yang makin tinggi?"

"Maksudnya beda gimana?" Doyoung bertanya sembari satu tangannya kembali meraih paha ayam.

"Aku merasa kayak ... kayak ingin ngejaga dia, gitu. Aku ragu untuk ngasih sesuatu yang sebelumnya pernah kukasih ke Gara. Well, yeah, jujur kalau ingat saat-saat sama Gara tuh aku ngerasa bodoh banget jadi manusia. Aku gampang banget nurutin dia. Ya, bucin itu kali ya, istilahnya. Tapi, pas sama yang sekarang ini aku jadi nggak ingin dia 'ngonsumsi' apa yang sebelumnya Gara 'konsumsi' dariku. Kamu pasti tau maksudku apa. Ak—"

Ucapanku terhenti begitu saja tatkala satu tangan Doyoung berganti dengan cepat jadi menepuk-nepuk dada.

"Iiish! Jorok!" keluhku saat membersihkan muncratan kunyahan ayam goreng yang mendarat di wajah. Lalu meraih gelas soda dan mendekatkannya ke Doyoung.

"Tau nggak sih, kalau tersedak gegara denger berita yang mengejutkan itu udah nggak zaman lagi? Jadinya tuh lebay kayak sinetron-sinetron di TV!"

Doyoung hanya menatapku dalam diam. Setelah meletakkan gelas minumnya, barulah dia bersuara untuk sekadar meminta maaf. Tak lama kemudian dia menarik tisu di meja dan menempelkannya di dahiku. "Bersihin dulu yang bener."

Aku mencebik. Namun, tetap melaksanakan instruksi yang dia beri. Tentu saja, sambil mengoceh. "Jadinya tuh mikir kalau aku bersikap seperti saat sama Gara dulu, gimana kalau dia juga ninggalin aku? Rasanya tuh beneran takut, tapi juga ada rasa untuk nurutin dia. Permintaannya nggak sulit, sebenarnya. Tapi ya itu tadi. Aku ragu, merasa nggak nyaman buat ngelakuinnya. Inginnya tuh beneran yang kami langsung ketemu aja gitu. Apa ya ... aku jadi kayak trauma gegara saat sama Gara dul—"

Gerakanku mendadak terhenti seiring kurasakan sentuhan Doyoung di pergelangan. Perlahan, dia menggenggam lalu menurunkannya. Dan ... voilà!

Dia mendecak keras.

"Aku nyuruh bersihin bekas ayamnya, bukan air mata. Kenapa sih, harus nangis segala?" ucapnya. Walaupun mengomel begitu, tangannya ya tetap menyeka air mataku.

"Ya takut," jawabku.

"Percaya aja bahwa dia udah ngerti harus gimana kalau udah menjalin hubungan sama seseorang. Kamu sendiri tau, kan?"

Aku mengangguk karena paham apa maksud Doyoung sebenarnya. Nasihatnya ini sudah terlalu sering menyapa telinga.  "Jaga perasaan pasangan."

"Nah itu tau. Sediam-diamnya cowok, terlihat seenggak peduli apapun terhadap pacarnya—maksudku kalau emang beneran 'cowok' lho ya—dia pasti nggak akan pernah sudi nyakitin atau mempermainkan perempuan. Jangan tanya kenapa karena jawabannya udah jelas."

Aku tidak mengerti ucapannya. Akhirnya ya bertanya, "Apa?"

"Kalau dia beneran udah dewasa, saat akan mempermainkan perempuan, dia akan ingat bahwa menyakiti sesama manusia itu termasuk perbuatan yang dilarang Tuhan. Dia juga otomatis akan ingat tentang ibu atau saudara perempuannya. Dia pasti akan berpikir gimana kalau perbuatan buruknya itu menimpa mereka. Percayalah, nyaris setiap orang percaya adanya karma."

Mulutku terbuka sedikit. Dalam hati, mulai bisa menerima penjelasan Doyoung. Aaah ... karma.

Jadi, apa perlu aku bertanya padanya perihal karma?

Dia percaya atau tidak terhadap karma, ya?

Tapi, belakangan ini aku sudah banyak memberinya pertanyaan. Bahkan masih banyak yang belum dapat jawaban. Kalau aku nekat bertanya lagi padanya, bagaimana kalau dia jadi tidak nyaman?

Sialan.

Kenapa begitu banyak hal menyebalkan dalam kehidupan?

.

[]

.

20191218.

MERAYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang