[23] Pengakuan

3 0 0
                                    

=======
P E N G A K U A N
=======


.

"APA yang akan kamu lakukan kalo orang yang kamu suka ternyata menyukai orang lain?"

Dahiku sempat berkenyit mendengar pertanyaan darinya. Aku paham benar seberapa random perempuan di hadapan, tetapi apa yang dia ucapkan barusan sangat asing di indra pendengaran. Kenapa tiba-tiba membahas perasaan, ketika biasanya ke-random-an dia hanya seputar orang dan barang di sekitar?

Suasana di antara kami juga mendadak terasa tidak enak begini. Anjir.

"Apa yang bikin tiba-tiba punya pertanyaan semacam itu?" tanyaku akhirnya.

Dia menatapku sebentar sebelum mengalihkan pandangan ke luar ruangan. Menatap jalan di seberang dengan bibir yang sedikit terbuka sebelum akhirnya kembali tertutup rapat. Seakan hendak mengeluarkan suara, tetapi urung entah mengapa.

Perasaanku semakin tidak enak dibuatnya.

Jika dipikir-pikir, iya, dia terlihat agak berbeda hari ini. Bukan dalam hal penampilan, melainkan aura yang dipancarkan. Rok plisket abu-abu motif daisy yang dipadukan dengan kemeja crinkle putih serta pashmina warna senada dengan bawahan, sungguh menampilkan kesegaran. Namun, selepas menanggalkan kacamata hitamnya, tatapan ogah-ogahan memang terasa memberiku sedikit pukulan.

Aku yang tidak terlalu ambil pusing atas momen sebelumnya kini menyadari bahwa sepertinya dia memang sedang tidak memiliki ketertarikan atas pertemuan.

"You okay, Sayang?"

Bahunya terlihat terangkat, seakan mununjukkan bahwa napasnya membutuhkan usaha lebih untuk terhela.

Tak berapa lama kepalanya bergerak pelan. "I'm not," jawabnya.

"Kamu sakit?"

"Enggak. Bukan. Aku ... Aku cuma itu ...,"

Kini mata kami kembali bertemu.

"Apa? Ingin apa? Beli jajan atau makan apa? Enggak mau di sini? Iya, ayo, kita ke tempat lain," tawarku. Jujur saja, iya, aku cukup denial saat ini. Aku sadar benar bahwa yang sedang mengganjal hatinya bukan perkara makanan, tetapi sesuatu yang sejak awal dia pertanyakan.

"Aku cuma ingin kamu menjawab pertanyaan tadi, dan melakukan satu hal lagi nanti. Setelah ini," tuturnya dengan amat pelan. Layaknya anak kecil gagap yang tertangkap setelah melakukan kesalahan.

Se-random apapun, dia bukan tipikal perempuan yang mengomentari sesuatu yang memang tidak akan ada hubungan dengan dirinya. Dan, ketika mengetahui bahwa pertanyaan yang kupikir asal dia ceploskan ternyata memang dia rencanakan, membuatku sedikit bingung untuk memberi jawaban.

Aku merasa dikelilingi oleh sesuatu yang, jujur saja, selalu kutakutkan.

Namun, sepertinya memang tidak ada pilihan lain selain menghadapinya.

Setelah menggaruk hidung tanpa sebab, aku memberinya pertanyaan, bukan pernyataan. "Naresh, itu kamu? Orang yang aku suka, yang ternyata menyukai orang lain?"

Matanya berkedip cepat sebelum kepalanya menunduk.

Punggung ini seperti kehilangan tulang. Tubuhku mendarat begitu saja di sandaran kursi begitu melihat reaksinya. Aku bisa menebak apa yang akan dia ucapkan, karena paham benar bahwa dia bukanlah pengarang jawaban hanya agar terlihat benar dan menawan.

"I think so," jawabnya.

Nah, kan. Benar. Dia tidak akan repot-repot mencari kalimat atau kata-kata indah untuk menjawab sebuah pertanyaan tentangnya.

Mencoba untuk melepas cekikan di leher, aku mengepalkan tangan di pangkuan. "Sejak kapan kamu begini? Apa sudah lama dan selama bersamaku kamu hanya pura-pura?"

Masih dengan tertunduk dalam, kepalanya menggeleng pelan. "A week ago? I think,"

What the fvck!

Cuma seminggu yang lalu?!

Aku kalah dari orang yang baru seminggu dia tahu?

Jadi, ini sebabnya dia sering menghilang tanpa kabar? Menjadi lambat membalas pesan lalu berkata kelelahan? Berusaha beralasan hanya agar kami tidak terlibat percakapan?

Orang macam apa lelaki itu sampai bisa membuat perempuan ini berani mengutarakan perasaannya di depanku, yang tentu akan berakhir dengan akulah yang dia tinggalkan? Boleh kusebut lelaki itu sangat beruntung, tetapi juga sangat menyebalkan?

Aku tahu bahwa tidak mudah untuk mengakui perasaannya di depanku. Aku paham jika butuh keberanian besar dan pemikiran matang untuknya tidak menyakitiku dengan pilihannya. Namun, ini terlalu mendadak. Aku tidak bisa melepasnya. Aku tidak mau.

Aku yang lebih dulu menemaninya. Aku yang lebih dulu menghiburnya. Aku yang lebih dulu menuntunnya untuk kembali berani merangkak menghadapi dunia. Aku yang ... yang aku yakini memiliki perasaan lebih banyak dan besar untuknya.

Namun, aku juga tidak berhak memaksanya dalam hal apapun.

"Satu pertanyaan, kamu bahagia?" kataku akhirnya.

Dia mengangkat kepala. Menatapku dengan rasa bersalah, "Setiap berhubungan dengannya, iya."

Itu jawaban yang sudah sangat jelas.

Setiap berhubungan dengannya.

Sangat spesifik untuk menunjukkan saat aku yang menghubungi, dia merasa biasa saja atau justru ... kesal?

Dengan dia menerima ajakanku untuk bertemu sore ini, artinya sudah membuat keputusan atas hubungan kami. Jadi ...

"Apa satu hal yang kamu ingin aku lakukan setelah pengakuan kamu ini?"

Dengan mantap dia menjawab, "Aku tidak ingin lagi diuji dengan permasalahan yang sama oleh-Nya. Aku akan belajar hanya dengan satu orang. Terlepas bagaimana akhirnya nanti, untuk saat ini, aku cuma ingin kamu memaafkan dan tidak membenciku."

Okay, then.

Sudah jelas.

Sialan, mengapa dia harus memutuskanku dengan begitu indah?

Seperti itulah akhir hubungan kami. Aku meyakinkan bahwa akan baik-baik saja meski saat ini jelas sangat terluka.

Kami berpisah setelah sama-sama berucap semoga bahagia.

Aku tidak ingin lagi bertemu atau berhubungan dengannya.

Semoga dia sungguh bisa bahagia dengan lelaki pilihannya. Tidak pernah lagi mengalami hal yang seperti sebelum denganku.

Dan untukku ... entah kapan luka ini akan sembuh, itu jelas urusan waktu, bukan kuasaku.


_____

LMJ20231130,
Yourjemblem.

MERAYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang