Tujuh

7.2K 529 31
                                    

Bhumi benar-benar datang menjemputnya di depan gedung kantor. Pria itu kini sudah berganti dengan pakaian biasa dan terlihat lebih segar dibandingkan pagi tadi. Melihat Hana datang Bhumi pun bersiap menyalakan motor Honda CBR-150 cc yang biasa ia gunakan menjemput Sheira. Bhumi menyerahkan helm ke arah Hana.

"Nggak usah pakai helm," Hana menolak, "Kan dekat, ke seberang saja."

"Tetap saja yang namanya kecelakaan itu nggak lihat jauh atau dekat. Lebih baik menjaga daripada mengobati."

Hana menekuk wajahnya, "Saya nggak mau pakai helm yang biasa Ira pakai."

Alis mata Bhumi bertaut, tawa kecilnya terdengar "Ini helm baru, masa kamu nggak bisa bedain. Lagian buat apa saya nyimpen helm punya Rara."

Benar juga ya! Duh, bodoh banget sih Hana.....

"Diajak nikah nolak setengah mati. Tapi perkara helm saja segitu cemburunya." Ejek Bhumi. Hana melotot ke arahnya dan baru hendak membantah, Bhumi menyuruhnya pakai helm.

Hana berusaha naik ke atas motor yang menurut dia itu lumayan tinggi dan agak susah dinaiki, "Kenapa nggak ketemuan di senayan langsung saja sih, begini kan ribet jadinya." Gerutunya.

"Nanti saya ganti dengan motor bebek kalau begitu."

Entah serius atau hanya bercanda perkataan Bhumi barusan, tapi kenapa Hana merasa ada sesuatu yang terasa di dalam dadanya.

Bhumi tidak membelokkan motornya ke arah senayan city, melainkan terus melaju ke jalan gatot subroto. "Kita kemana?" tanya Hana cemas.

"Tempat makan deket kost-an kamu saja. Saya males harus parkir dalam gedung."

"Oooohhh,.."

"Dimana?"

"Apanya?"

"Kost-an kamu?"

"Daerah Tanjung Duren,"

Sudut bibir Bhumi membentuk senyuman simpul, "Oh jadi pindah ke daerah sana."

Dan detik itu juga Hana merasa telah dibodohi oleh Bhumi.

***

"Kenapa harus pindah diam-diam?" tanya Bhumi begitu mereka sudah berada di dalam tempat makan bebek haji Slamet.

"Karena kamu mengganggu ketentraman hidup saya!"

"Terus bagaimana dengan hidup saya yang sekarang hancur oleh kalian berdua?"

"Itu masalah kamu dan Sheira Bhum, enggak ada sangkut pautnya dengan saya. Harus berapa kali saya katakan sama kamu?"

Bhumi menggeleng tidak terima, "Kamu terlibat, dan itu faktanya! Weekend ini kita jadi ke Bandung buat ketemu orang tua kamu."

Hana menatap Bhumi putus asa.

"Tapi, sudah ada seseorang di hati saya saat ini." Ucap Hana pelan. Bhumi sedikit kaget mendengar hal itu. Dendamnya semakin menjadi-jadi. Sheira dan Hana, seenaknya mereka menghancurkan hidup orang lain dan berbahagia diatas itu semua.

"Siapa orang yang saat ini ada di hati kamu?"

Hana menggeleng pelan, "Kamu nggak kenal dia. Dia teman semasa kecil saya. Saat ini ia sedang melanjutkan S2 nya di Jepang bersama kakak lelaki saya."

Wajah Bhumi terlihat menegang. Dia tahu bahwa rencananya tidak akan berjalan dengan sukses menggunakan cara baik-baik. Hana wanita yang cukup tegas dan berpendirian kuat. Seperti apapun Bhumi merayu dia tidak akan mendapatkan yang ia inginkan saat ini. Apa boleh buat. Hana memaksanya menggunakan cara kotor lain. Bhumi sudah jelas tidak akan membiarkan kedua wanita itu bahagia diatas deritanya.

***

Beberapa hari tanpa kehadiran Bhumi rasanya begitu tenang dan damai. Kehidupan Hana yang semula tentram akhirnya datang kembali. Wanita itu berjalan dengan riang menyusuri trotoar di sepanjang jalan SCBD. Langit tampak cerah pagi ini. Kali ini lagu First love nya – Utada Hikaru yang menemani. Semalam ia bertukar pesan oleh Imam Hardiatmaja, pria yang sudah merebut hatinya sejak ia masih remaja. Ternyata Imam sudah bekerja di salah satu perusahaan technology jepang bersama kakak lelakinya Ramzi. Tesisnya hampir selesai, sebentar lagi ia akan wisuda. Hana teringat bagaimana kata-kata Imam 2 tahun lalu sebelum berangkat pergi "Jaga diri Hana baik-baik disini. InsyaAllah kelak Mas akan membawa Hana melihat bunga sakura secara langsung."

Ketenangan yang dirasakan oleh Hana, ternyata bersifat sementara saja. Sabtu malam, Bhumi kembali datang ke tempat kost nya yang baru. Pria itu mengantar Hana sampai depan kost ketika terakhir kali mereka bertemu, "Bhumi?!" seru Hana sedikit kaget. Untung ia segera memakai jilbab langsungan begitu pintunya diketuk secara tidak sabaran dari luar. Harusnya ia tidak asal buka saja, melainkan bertanya terlebih dahulu siapa yang ada di luar sana.

Bhumi mendesak masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya dengan asal. Membuat Hana melotot ke arahnya. Belum sempat Hana berteriak, pria itu sudah membungkan mulut Hana dan mendorong wanita itu ke atas tempat tidur. Bhumi membuka kaos yang ia pakai dan melemparnya ke lantai. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan meletakkannya begitu saja ke atas kasur.

Hana, meronta namun tubuh Bhumi terasa begitu kuat. "Kamu yang minta aku menggunakan trik kotor." Bisik pria itu. Mata Hana sudah basah. Wanita itu takut akan terjadi sesuatu pada dirinya malam ini. Ia takut Bhumi benar-benar merenggut kehormatannya. Namun ternyata bukan itu yang Bhumi rencanakan.

Pintu dibuka secara paksa oleh seseorang dari arah luar. Penampilan Hana yang terlanjur acak-acakan dan Bhumi yang tanpa baju, dengan risleting celana yang sengaja ia buka serta posisi mereka yang begitu pas memunculkan opini negative dari orang-orang yang melihatnya. "Astagfirullah Al Adzim,.. Hanaa!" teriak suara seorang wanita yang begitu Hana kenal. Bhumi lekas menyingkir dan Hana segera memakai kembali Jilbabnya yang terlepas.

"I-ibu." Ujar wanita itu kaget.

"Apa yang kalian lakukan disini? Astagfirullah Al-Adzim. Bisa – bisanya kamu mengkhianati kepercayaan Ibu." Sang Ibu sudah histeris. Sementara Bhumi ditarik paksa oleh paman Hana, ayahnya Wulan. Hana menangis mencoba mendekati Ibunya. Hana menggeleng pelan "Hana bisa jelasin Buk, ini nggak seperti yang ibu lihat." Ujar wanita itu sambil sesenggukan.

Ibunya mengambil selembar kondom dari atas kasur. Lalu menampar Hana hingga wanita itu terjatuh dan bersujud di kaki Ibunya "Maafin Hana Bu. Biar Hana jelaskan dulu semuanya."

Bhumi tiba-tiba ikut bersujud di samping Hana, "Maafkan kami Bu. Kami Khilaf, saya akan bertanggung jawab atas perbuatan saya terhadap Hana."

Hana, menatap Bhumi tidak percaya. Ia menggeleng lemah, "Enggak! Bukan begitu Bu, biar Hana jelaskan dulu."

"Cukup! Apa lagi yang perlu kamu jelaskan. Ibu sudah melihat semuanya. Ibu nggak menyangka kelakuan anak ibu di Jakarta seperti ini." Teriak ibunya dengan suara bergetar menahan amarah.

Sakit sekali hati Hana dituduh yang bukan-bukan oleh ibu kandungnya sendiri. Ia menangis tidak berdaya. Ia mencoba pertolongan pamannya namun pamannya tidak berani ikut campur. Apa yang mereka lihat barusan sungguh membuat mereka bergitu kecewa terhadap Hana.

"Hana di fitnah bu,"

Bhumi menunduk dalam, "Jangan salahkan Hana lagi Bu. Saya akan bertanggung jawab atas apa yang telah saya perbuat. Namun Ibu jangan salah paham. Kami belum sampai sejauh itu."

Ibu melempar selembar pengaman ke arah Bhumi "Belum sejauh itu tapi ini apa? Apa maksud kamu bawa-bawa ini?"

Bhumi semakin menunduk, "Maafkan kekhilafan kami. Saya sungguh akan bertanggung jawab atas perbuatan saya."



---to be continue--- 

Bhumi Untuk HanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang