Sebelas

7.4K 486 18
                                    

Raihana, mengurung dirinya di kamar tamu seusai membersihkan diri di kamar mandi. Ia merasa begitu jijik dengan tubuhnya sekarang. Bhumi telah membuatnya begitu tidak berharga. Mata Hana membengkak akibat menangis sejak tadi. Kini wanita itu terkulai lemah di ranjang dengan posisi bergelung di bawah selimut. Pukul 11 malam akhirnya pintunya terketuk pelan dari luar.


"Na,..." panggil Bhumi setelah mengetuk pintu pelan. "Raihana." Panggil pria itu lagi. "Kamu belum makan malam. Ayo keluarlah, sejak tadi kamu mengurung diri. Aku sudah beli makan malam buat kamu."


Raihana diam dan tidak merespon. Setiap inci di tubuhnya terasa sakit. Tapi sakitnya tidak hanya disitu. Hatinya lebih sakit lagi saat ia mengingat bagaimana Bhumi mengerang dengan menyebut nama Sheira samar. Meski samar tapi Hana dapat menangkap dengan jelas siapa yang pria itu maksud. Matanya menatap nanar dinding kamar yang gelap. Ini adalah kali kedua ia merasakan rasa sakit yang teramat di hatinya. Yang pertama adalah ketika sang Ayah tiada. Kini ketika kesuciannya terenggut dengan paksa bahkan dengan membayangkan wanita lain.


"Hana,.." Bhumi kembali memanggilnya. Ketukan di pintu terdengar melunak. Hana mencoba memejamkan matanya hingga tanpa sadar ia terlelap. Pukul 4 pagi Hana terbangun dan mendapati perutnya terasa lapar. Meski awalnya ragu, akhirnya Hana memaksa dirinya untuk bangkit dan membuka pintu kamar.


Bhumi tidak ada di ruang tamu maupun di kamar utama. Pintu kamar dibiarkan terbuka begitu saja. Kemana Bhumi? Hana mengecek ponselnya yang ada di dalam tas. Kejadian kemarin sore itu benar-benar begitu cepat terjadi hingga ia tidak bisa sedikitpun mengantisipasinya.


Bhumi : Barusan dapat kabar kalau Ibu pingsan dan sekarang ada di RS. Ada sate ayam di dalam kulkas, semalam aku beli buat kamu. Kalau lapar tinggal di angetin di Microwave.


Dibanding rasa lapar di perutnya, kini Hana malah lebih fokus soal keadaan Ibu mertuanya. Tanpa pikir panjang di pencetnya nomor Bhumi hingga terdengar nada dering.

"Assalamualaikum," Hana memberi salam begitu sambungan telf tersambung. "Bagaimana keadaan Ibu?" Tanyanya cemas.

"Alhamdulillah sudah di tangani, namun saat ini masih di ruang ICU." Jawab Bhumi. "Kamu sudah keluar dari kamar? Sudah makan?"

Hana tidak menggubris pertanyaan Bhumi. "Di Rs mana?"

"Rumah Sakit yang waktu itu juga, cari yang terdekat dengan rumah. Kamu baik-baik saja?" tanya Bhumi lagi namun Hana enggan menjawab, "Raihana." Panggil pria itu.

"Aku baik-baik saja. Bukan aku saat ini yang harus kamu pikirin melainkan Ibu." Balas Hana judes.

                                                                                                 ***

Sejak kejadian hari itu, Hana sedikit berubah. Ia menjadi lebih tertutup dan tidak lagi seceria biasanya. Perjalanan SCBD – Bintaro pun sedikit memakan waktu dibandingkan dulu ketika ia tinggal dekat Haji Nawi ataupun Tanjung Duren. Sejak dini hari ia sudah merasa tidak enak badan sebenarnya. Namun jika tetap dirumah, maka ingatan akan kejadian tadi malam akan terus terusan menghantuinya. Karena itulah Hana memutuskan untuk tetap berangkat ke kantor.

"Selamat pagi,..." sapa Tika dengan riang. Receptionist satu ini memang selalu terlihat ceria setiap saat. Raihana menebak-nebak, apakah hidup Tika tanpa masalah? Karena wanita itu selalu terlihat tanpa beban. Hana melemparkan senyum ke arah Tika.

"Lo sakit, Na? Kelihatannya pucat deh," komentar wanita itu.

"Agak pusing sedikit saja sih," Balas Raihana sambil berjalan masuk.

"Diajak begadang terus ini mah sepertinya," ejek Tika seraya tertawa. Bersamaan dengan itu Sheira datang tidak lama berselang. Wanita itu melemparkan senyum tipis ke arah mereka berdua dan tergesa-gesa untuk masuk. Raihana merasa sikap Sheira belakangan ini mulai berubah, wanita yang menyebabkan ia harus menikah dengan Bhumi kini seolah menghindar dan jaga jarak. Tapi kenapa?

Menjelang sore hari, ia merasa keadaannya tambah buruk. Bahkan ia tidak selera makan siang tadi. Hana terpaksa memesan taxi online untuk perjalanan pulang. Sudah pasti dia tidak akan sanggup jika harus pulang menggunakan moda transportasi Jakarta yang begitu luar biasa dahsyat ramainya. Berjuang dan berdesakan dengan jutaan manusia lainnya sudah pasti tubuhnya tidak sanggup hari ini.

Sesampainya dirumah wanita itu bergegas masuk ke dalam kamar kedua. Ia benar- benar ambruk di atas tempat tidur. Sekujur tubuhnya demam dan perutnya terasa melilit. Biasanya dengan meminum obat tolak angin sudah cukup mengobati meriangnya, tapi kali ini nampaknya obat itu tidak bekerja dengan baik di tubuhnya.

Entah sejak kapan Hana mulai jatuh tertidur dan mulai tersadar ketika ia merasakan seseorang mengguncang tubuhnya dengan pelan. Tubuhnya terasa dibangunkan dan bersandar pada dada seseorang, "Minum dulu Na," suara itu, tidak asing untuknya. Hana mencoba menoleh dan melihatnya dengan samar. Pria itu adalah Bhumi.

"Kita kerumah sakit ya?" tanya Bhumi. Namun Hana terlalu lemah untuk menjawab. Tanpa menunggu jawaban Hana Bhumi mengangkat tubuh Hana yang ringkih dan membantunya duduk di kursi depan mobil. Kesadaran Hana mungkin tidak 100%, tapi ia dapat menangkap raut wajah Bhumi yang begitu cemas.

Tidak lama hingga akhirnya tubuhnya terbaring di atas ranjang rumah sakit. Beberapa perawat dan seorang dengan jubah putih mendekatinya. Mengecek kondisi Hana dengan telaten. Mulai dari Nadi, nafasnya, jantungnya juga matanya. "Ia mengalami dehidrasi berat," ia mendengar pria itu berkata kepada Bhumi. "Ada riwayat penyakit lambung?" tanya pria itu lagi. Wajah bhumi menggeleng tidak yakin, karena dia tidak benar-benar mengenal Hana.

'Ada' jawab Hana dalam hatinya. Namun wanita itu begitu lemah untuk menjawab.

"Kasih cairan infus kristaloid," Ujar dokter itu kepada perawat, lalu kembali menatap ke arah Hana dengan lekat dan memeriksa bagian perutnya. Sang dokter menggerakkan tangannya di atas mata Hana, "Bu, masih bisa dengar suara saya?"

Hana mengangguk lemah.

Sang dokter menekan bagian ulu hati di perut Hana, "Kalau saya tekan yang ini sakit tidak Bu?" Hana meringis sedikit, lalu mengangguk pelan. "Soalnya perut ibu kembung sekali ini, apa Ibu punya penyakit riwayat lambung?" tanyanya kembali. Hana kembali mengangguk. "Oke baik, saya kasih cairan untuk meredakan nyeri lambungnya ya bu?" dan hana hanya bisa mengangguk. Sungguh ia sudah tidak berdaya, ia percaya kepada dokter yang menanganinya.

Sang dokter kembali berbisik kepada perawat dan juga Bhumi, "Kasih cairan pantoprazole injeksi," Setelah memberikan beberapa intruksi kepada perawat, dokter pun berkata ke arah Bhumi "Kami akan memasukkan obat melalui cairan infus, jadi sepertinya Ibunya harus dirawat dulu pak sambil terus kita observasi keadaannya. Bapak bisa urus administrasinya dulu di kasir depan."

Tidak butuh lama hingga tangannya ditusuk jarum suntik untuk pengambilan darah dan juga memasukkan cairan infus. Hingga akhirnya kesadaran Hana menghilang 100%. Wanita itu kembali jatuh pingsan. 


-------Bersambung------

Bhumi Untuk HanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang