Dua Puluh Tiga

10.3K 526 46
                                    

"Anak Aditya, yang sempat Sheira kandung dan bukan anakku." Bisik Bhumi. Hangat nafasnya membelai telinga Hana. Pria itu mendekap erat tubuh Hana dari arah belakang, mereka berbagi selimut dan juga kehangatan. Entah kapan terakhir kalinya mereka melakukan hal ini. Hana hanya mampu terdiam memandang ke arah jendela kamar. Rasa cemburu telah membuatnya tidak dapat berpikir jernih dan menduga yang bukan-bukan.

"Eri, bilang Aditya mengaku di depan polisi bahwa Sheira telah berselingkuh dan anak yang dikandung Sheira bukanlah anaknya." Balas Hana pelan.

Terdengar Bhumi menghembuskan nafas panjang. Dengan perlahan dia membuat tubuh Hana berbalik ke arahnya, kini mereka dapat saling memandang. "Dokter bilang ada kelainan pada bayi yang di kandung Sheira. Dia mengetahui hal itu di usia kandungannya yang ke 9 minggu. Melihat watak Aditya, Sheira merasa tidak yakin untuk tetap melanjutkan kehamilannya sehingga diam-diam dia memutuskan untuk mengugurkannya secara alami. Namun hal itu diketahui oleh Aditya, dan pria itu langsung menduga karena anak yang dikandung Sheira bukanlah anaknya, melihat bagaimana kelakuan Ibu Sheira yang kerap menjadi istri simpanan lantas Aditya seenaknya menyimpulkan hal itu."

"Kenapa Mas, bisa tahu begitu banyak tentang Sheira?" ada nada kecewa dari suara Hana.

Bhumi, membuang pandangannya dari Hana untuk sesaat sebelum akhirnya kembali menatap wanita itu. "Aku sempat melihat Sheira dan Adit bertengkar di parkiran mobil waktu aku jemput kamu di kantor. Sejak awal Aditya sudah main kasar, aku melihatnya menampar Sheira." Bhumi berhenti sejenak, seolah sedang berpikir apakah perlu melanjutkan cerita atau tidak. "Aku tidak menyangka bahwa hal itu ternyata mengusikku hingga kuputuskan untuk mengirim pesan kepadanya, aku mencari nomor ponsel Sheira yang baru dari handphonemu Na."

Wajah Hana kembali berubah merah dan memberenggut, sedih sekali rasanya mengetahui sebuah kenyataan. "Aku tidak berniat apa-apa, sungguh! Aku hanya ingin tahu bagaimana keadaannya, itu saja." elak Bhumi.

"Itu artinya Mas masih perduli sama dia, Mas masih ada perasaan sama Sheira kan?"

"Na, kita berdua sama-sama mengenal Rara cukup lama. Sebagai seseorang yang lama mengenalnya dan melihatnya diperlakukan seperti itu, aku nggak bisa diam. Terlepas dari apa yang telah dilakukannya kepadaku."

Hana mengangguk-angguk mengerti "Dan setelah itu kalian jadi sering berkomunikasi lagi?"

Bhumi menggeleng samar "Tidak seperti yang kamu bayangkan, hanya beberapa kali dia meminta pertolonganku dan niat burukku ingin memasukkan Aditya ke penjara muncul begitu saja."

"Karena dia telah menyakiti Sheira?" tanya Hana, Bhumi terpaku, "Atau karena dia telah merebut Sheira dari kamu?"

"Mutlak semata karena rasa kemanusiaan, Na." Bhumi kembali mengelak.

Hana, membalikkan tubuhnya dan mencoba bangkit dari tempat tidur dengan tubuhnya yang polos. "Na," panggil Bhumi.

"Raihana, aku belum selesai bicara."

Hana berbalik dengan handuk yang telah terlilit di tubuhnya. "Aku mau mandi, terus sholat malam daripada nantinya aku malah kembali berpikir negative dengar kisah cinta kamu yang belum tuntas sama dia."

****

Bhumi dan Sheira adalah dua orang yang begitu egois. Sheira yang hanya mementingkan dirinya sendiri begitu juga dengan Bhumi, tanpa memikirkan seberapa jauh mereka mengubah arah jalan kehidupan Hana. Tapi, kembali lagi bahwa semua ini adalah rangkaian takdir yang telah tertulis dalam perjalanan hidupnya.

Lama Hana, menatap sebuah isi pesan dari Imam yang meminta bertemu dengan dirinya sebelum keberangkatan kembali pria itu ke Jepang. Hubungan keduanya memang aneh. Mereka saling menyayangi layaknya pasangan kekasih, meski tanpa ikrar, namun Imam berjanji padanya akan membawanya serta suatu hari ke negeri sakura itu. Sebenarnya apa nama hubungan mereka? Hubungan tanpa status? Atau teman tapi mesra? Tidak juga, mereka jarang sekali jalan berdua. Selalu ditemani oleh ramzi atau seluruh keluarga Hana.

Mereka hanya sesekali saling melempar pandangan, bertemu diam diam di alun-alun kota Bandung tanpa sepengetahuan keluarganya. Tapi itupun terbilang jarang. Hari terakhir sebelum pria itu pergi bersama Ramzi untuk melanjutkan beasiswa studi S2 nya ke Jepang, dengan berani Imam mengajaknya pergi berdua. Menggunakan sepeda motor milik sepupunya, hanya demi mengajak Hana makan malam di Punclut.

Dia tahu, Hana tengah gelisah dan sedih dan Hana tahu, pria itu begitu canggung dan berat untuk berpisah. Setelah berjam-jam berbicara tanpa arah akhirnya sepatah kata dari Hana mampu membuat pria itu menjadi tenang "InsyaAllah, Hana akan tunggu Aa pulang." Wajah Imam yang tadinya tegang mulai mencair hingga terbit sebuah senyuman indah dari bibir pria itu. Pria yang hanya berani menyentuh jari jemari Hana, dan tidak pernah lebih dari itu.

Kini, sebuah teks singkat berisikan "Bisa bertemu sebentar? Lusa jadwal pesawat saya,"

Membuat dada Hana seperti dihantam oleh palu. Rasa bersalah kembali menggerogotinya. Digenggamnya ponsel itu kuat – kuat, apa yang harus ia jawab kali ini?


--------Bersambung-------

Hai hai... maaaaaaff banget lama baru muncul lagi,.. xixixixxixixixii Thornya banyak urusan banget di dunia Nyattaaaa

mohon di maapkeun yaahhh, 


Enjoyed----


Bhumi Untuk HanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang