Enam Belas

6.9K 477 12
                                    

Ruangan kantor sedikit ramai hari ini ketika Hana sampai. Bahkan Tika sang receptionist tidak ada di tempatnya melainkan di dalam ruangan sedang berkumpul bersama yang lain dan berbisik-bisik pelan. "Ada apa?" tanya Hana.

Semua mata kini menatap Hana. Padahal ia hanya telat 15 menit namun nampaknya ia melewatkan sesuatu pagi ini. "Tadi ada polisi datang, Na. Dia tanya-tanya soal Aditya kesini."

Dahi Hana mengernyit "Loh, kan dia sudah lama enggak kerja disini. Ada apa memangnya?"

"Lo nggak tahu sama sekali?" tanya Sabrina, teman satu tim Sheira dulu.

Hana menggeleng pelan, wajahnya benar-benar terlihat bingung.

"Aditya melakukan KDRT sama Sheira, dan sekarang polisi lagi cari – cari dia karna dia kabur dari lokasi kejadian."

Wajah Hana kini terlihat pucat pasi. Kedua tangannya refleks menutup wajahnya. Rasanya seperti seseorang melemparkan batu besar ke arahnya. Ia tidak bisa berkata-kata, dadanya begitu saja terasa sesak. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi pada Sheira? Bukankah yang terlihat Aditya adalah pria baik-baik yang rasanya tidak dapat dibayangkan dia melakukan tindak kekerasan pada seorang wanita.

Hana, seketika terisak. "Gue nggak tahu sama sekali," ujarnya parau. Tika menepuk bahu Hana guna menenangkannya. "Sumpah Gue nggak tahu, Mba. Sheira menjauh dari Gue sejak Gue nikah."

Tika mengangguk-angguk mengerti. "Iya, ini bukan salah lo Na."

"Terus dia dimana sekarang?" Hana mengusap air matanya.

"Tadi Sabrina mencoba menghubungi Sheira namun handphonenya nggak aktif. Kalau salah satu dari kita dapat kabar, kita pasti infoin ke Lo juga."

Hana, mengangguk-angguk dan tidak lama ponselnya berdering. Erika menelfonnya. "Eri,..." panggil Hana, belum sempat Hana melanjutkan ucapannya Erika sudah lebih dulu memberitahu Hana dimana keberadaan Sheira.

"Ira di Rumah Sakit Jakarta," jawab Erika bahkan sebelum ditanya. Mendengar suara parau sahabatnya itu, sudah pasti Hana menangis ketika mendengar kondisi Sheira.

"Lo tahu darimana?"

Terdengar hembusan nafas panjang dari arah seberang, "Nanti Gue ceritain lengkapnya sama Lo, kita ketemuan saja di cafe dekat kantor nanti jam makan siang."

Hana mengangguk-angguk, "Tapi bagaimana kondisinya sekarang, dia baik-baik saja kan Er?"

Kembali terdengar hembusan nafas panjang "Kondisinya sih sudah stabil sekarang, tapi yah cukup parah juga apa yang dia dapatkan dari si Aditya."

Air mata kembali merembes di pelupuk mata Hana, "Gue kesana sekarang,-"

"Enggak, jangan!" cegah Eri. "Kita ketemu di cafe biasa dekat kantor. Karena selain hal ini, ada yang mau gue sampaikan juga ke Lo."

Suara Erika terdengar serius. Akhirnya Hana setuju dan entah kenapa rasanya jam makan siang menjadi begitu panjang untuknya.

Erika, dengan setelan semi formal berjalan cepat ke arah Hana yang sudah datang lebih dulu. "Sheira telf lo kan makanya lo bisa tahu kondisi dia?" tuntut Hana.

Erika mengangguk, "Dia nelfon gue pas sabtu malam minggu lalu sebenarnya. Dia mau tahu bagaimana proses hukum kekerasan dalam rumah tangga. Cuma dia masih belum jujur kalau ternyata dialah korbannya. Sampai pada akhirnya jumat malam lalu, dia telfon Gue lagi dan bilang kalau Aditya memukuli dia habis-habisan.

Setelah Gue paksa dia untuk pergi dari rumah itu sementara waktu dan buat laporan polisi, akhirnya sabtu pagi dia setuju untuk melakukan visum dan laporan polisi."

"Adit nya sudah kabur?"

"Sepertinya sudah kabur, karena bukan Gue yang bawa Sheira kerumah sakit. Gue ketemu dia setelah dia berada disini, dan bantu buat laporan polisi." Jelas Erika. Sampai pada bagian ini wajah Erika tampak berubah. Sedangkan Hana terlihat begitu antusias mendengar cerita lanjutannya.

"Ada yang mau Gue sampaikan ke Lo, dan Gue rasa Lo wajib banget tahu hal ini. Gue Cuma enggak mau dikemudian hari Lo marah sama Gue karena Gue menyembunyikan hal ini."

"Apa?" Jantung Hana berdebar lebih cepat dari biasanya. Karena sahabat satunya ini memang tidak pernah menyembunyikan rahasia apapun yang menyangkut dirinya.

"Bukan Gue yang bawa Sheira kerumah sakit, Na. Melainkan Bhumi, suami Lo." Ujar Erika dengan tenang seraya menyalakan vapenya. Jika Erika mulai menghisap rokok, itu berarti dia sedang menutupi rasa gugupnya. Ia tahu ini hal yang pasti akan membuat Hana terluka, tapi Erika tidak mungkin menutupi hal ini dari sahabatnya.

Sepersekian detik rasanya Hana lupa mengambil nafas. Wajahnya menjadi tegang dalam seketika. Dengan susah payah Hana menelan ludah. Ia menunduk dan mencoba mengendalikan emosinya. Mengapa, Mas Bhumi tidak mengatakan apapun padanya? Mengapa ia terlihat seolah acuh terhadap Sheira tiap kali Hana membicarakan tentang dirinya.

Hana menganggkat wajahnya kembali dan menatap lekat ke arah Erika, "Lo tahu darimana kalau Mas Bhumi yang antar dia ke Rumah sakit?"

"Karena saat Gue datang, Bhumi yang urus segala admisnistrasinya. Kita berdua berada disana sampai akhirnya suami lo ijin pamit pulang. Gue Yakin, Bhumi tahu kalau gue akan berikan informasi ini sama Lo. Jadi gue berharap lo bisa menyikapi hal ini dengan bijak, Na. Jangan terbawa emosi dan berburuk sangka sama Bhumi."

Hana mencoba meraih minuman nya. Tangannya terlihat gemetar dan Eri tahu hal itu. Hana, menggigit bibir bawahnya dan menatap keluar. "Gue sedang berusaha mencoba mengerti kenapa harus Mas Bhumi yang mengantar Sheira kerumah sakit," kata-katanya terhenti, air mata kembali mengambang di pelupuk matanya. Hana menarik nafas panjang "Tapi kenapa rasanya sakit ya Er," bersamaan dengan air matanya yang jatuh tanpa bisa dibendung. 


-----Bersambung-----

Bhumi Untuk HanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang