Dua Puluh Empat_Rev

2.3K 245 7
                                    

Hana, masih menunduk memandangi jari jemarinya yang saling meremas di atas kedua pahanya. Ia tidak berani mengangkat kepalanya dan memandang Imam dari jarak sedekat ini. Ia pikir, kedatangan pria itu terakhir kerumahnya bersama Ramzi sudah sudah menjelaskan segalanya tanpa mereka saling bicara atau bahkan saling melempar pandangan. Namun nyatanya tidak demikian. Imam, dengan nekat meminta ijin pulang ke tanah air untuk beberapa hari, nampaknya masih ada gumpalan besar di hatinya.

"Saya lega melihat kamu baik-baik saja," pria itu membuka suara. Restoran pilihan Eri sangat tepat untuk mereka berdua. Tidak terlalu ramai, dan tidak jauh dari kantor. entah karena pertengahan bulan atau karena apa, namun Ashta yang biasanya ramai pada jam makan siang, hari ini tampak sedikit lengang.

"Setelah hari ini mungkin saya akan menetap lebih lama disana, entah kapan akan kembali atau mungkin saya akan menetap selamanya Jepang, gadis jepang cantin-cantik." Terdengar suara tawa hambar yang dibuat-buat.

Hana, akhirnya mengangkat wajahnya dan mata mereka bertemu. Ada kilatan kecewa di manik mata pria itu yang membuat hati Hana semakin merasa bersalah. "Hana, doakan Aa dapat jodoh yang jauh lebih baik." Jawabnya parau. Imam tertawa sinis. Sebelah kaki pria itu terus bergerak menghentak-hentak lantai. Hal itu biasanya menandakan bahwa ia sedang gugup atau menahan amarah.

"Saya yang salah, seharusnya saya tidak terlalu lama membuat kamu menunggu. Seharusnya saya segera membawamu saat kuliah saya selesai dan bukannya malah menunggu karir saya mapan. Saya selalu ragu-ragu dalam mengambil langkah jika itu berkaitan dengan kamu," ia berhenti sejenak sembari memandangi Raihana yang sedikit berubah dibanding dahulu ketika mereka bersama di Bandung. Gerakan kaki Imam berhenti, pria itu mulai bisa bernafas teratur dan menguasai emosinya. "Di bagian mananya yang salah? Saya masih terus berpikir seperti itu sampai saat ini. Apakah saat saya memutuskan mengambil S2 di Jepang dan meninggalkanmu di Bandung, atau saat saya menerima tawaran pekerjaan disana dan mengulur waktu lebih lama untuk melamar kamu atau komunikasi kita yang semakin lama semakin berkurang karena kesibukanku?"

"Atau memang semata karena kita tidak berjodoh," balas Hana dengan bibirnya yang bergetar.

Imam kembali tertawa sinis, menggeleng perlahan lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Kamu betul, semua terjadi semata karena kita tidak ditakdirkan bersama." Imam menghembuskan nafas dengan kasar. "Kalau begitu, tidak ada lagi alasan saya berada disini. Saya pamit pergi," Ia bangkit, menarik kopernya dari dalam meja dan menatap lekat ke arah Hana untuk terahir kalinya "Semoga kamu bahagia, selamat tinggal."

Imam, berbalik dan berjalan menjauh keluar dari restoran. Ada sesak di dadanya melihat pria yang dulu pernah ia cintai terlihat terluka seperti itu. Bulir airmata jatuh dari mata Hana yang indah. Seseorang mendekat dan duduk disebelah Hana untuk menenangkan wanita itu, Eri, yang sejak tadi duduk tidak jauh disana menemani mereka berdua untuk bertemu. Hana tidak ingin ada fitnah antara dirinya dan Imam, karena itulah ia meminta Eri menemaninya.

Eri, menyodorkan tisue ke arah Hana. "Complicated banget ya hubungan kalian,"

Hana, menyeka kedua ujung matanya. Ia tidak ingin kembali ke kantor dengan sisa-sisa airmata dan mata sembab. "Bukan Gue yang membuat semuanya menjadi rumit, lo tahu bagaimana semua ini tiba-tiba saja terjadi. Gue cuma terseret diantara kedua manusia egois itu." ujarnya kesal.

"Bagaimana kabarnya kasus Sheira dan Adit?" tanya Hana, seraya bangkit berdiri dari kursinya, namun tiba-tiba ia merasa limbung hingga kembali terduduk.

"Kenapa, Na?"

"Enggak apa-apa, cuma tiba-tiba agak pusing, darah rendah Gue kumat sepertinya." Hana memijat pelipisnya pelan.

"Lo terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini! Kasus Sheira dan Adit sudah selesai, mereka akhirnya damai. Adit setuju bayar ganti rugi sebesar 250 juta ke Sheira, namun mereka akhirnya cerai."

Hana, mengangguk samar. "Suami Gue masih sering ketemu sama dia?"

Eri mengangkat kedua tangannya ke depan dada dan menggeleng "Wah kalau soal itu Gue enggak tahu deh ya, better lo tanya langsung sama sama suami lo."

Hana hanya tersenyum kecut. Ia menyandarkan tubuhnya ke belakang "Apa Gue mundur saja kali ya, Er?"

"Mundur kenapa? Maksud lo apaan sih?"

"Bukan apa-apa."

"Eh, tapi gue perhatiin akhir-akhir ini muka lo pucat, sudah periksa ke dokter?"

"Masa sih?" Hana meraba wajahnya,

"Jangan-jangan lo hamil, Na?"

Hana, seketika terdiam mendengar hal itu. Spontan ia mengingat kapan terakhir tanggal menstruasinya, jari jemarinya lantas bergerak seolah menghitung. Kini matanya menatap Eri dengan sinar harapan. "Telat 14 hari dari tanggal terakhir Gue datang bulan,"

"Ya sudah periksalah, yuk mau Gue anter sekarang?" Eri menjadi begitu bersemangat. Wajah Hana terlihat berbinar dan dengan cepat melupakan segala kesedihan yang baru saja ia alami.

"Tapi sudah jam masuk kantor, Gue test pack dulu saja kali ya?" ia melihat arloji di tangan kanannya, "Tapi katanya kalau test pack bagusnya di pagi hari,-"

"Tapi kan lo sudah telah lebih dari 1minggu," Eri menarik tangan Hana, "Gue anterin lo beli test pack." 



-----Bersambung----

Bhumi Untuk HanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang