Dua Belas

7.5K 516 19
                                    

Raihana, membuka matanya perlahan. Ia mencoba melihat ke sekelilingnya. Tirai berwarna hijau setengah menutupi ranjang tidurnya saat ini. Ingatannya kembali, rupanya ia sudah berada di dalam kamar rawat inap tidak lagi berada di bangsal unit gawat darurat. Matanya menangkap posisi Bhumi yang tengah terbaring di sofa samping ranjangnya. Ia bergelung menyamping dengan lengan sebagai bantalan kepalanya.

Hana merasa tenggorokannya begitu kering. Jika tubuhnya tidak terasa lemah seperti ini sudah pasti ia bergegas menjangkau botol kemasan air mineral yang tergeletak di atas laci samping tempat tidurnya. Mau tidak mau ia harus menghilangkan gengsinya saat ini. "Bhum,." Panggilnya parau.

Hana menghela nafas pelan, "Bhumi," ia memanggilnya kembali. Kepala Bhumi bergerak perlahan. Ia mengangkat kepalanya dan mata mereka bertemu. Bhumi bangun seketika dan mendekat ke arah Hana, "Bagaimana keadaanmu Na? Ada yang sakit?" tanya pria itu cemas.

"Haus. Aku haus," hanya dua kata yang keluar dari bibir Hana yang saat ini terlihat kering dan pucat. Bhumi dengan sigap segera mengambil air mineral kemasan itu dan menuangkannya ke gelas yang tersedia. Bhumi membantu Hana bangkit dan menyuapinya minum.

"Kamu lapar nggak? Mau makan?"

Hana menggeleng dan kembali berbaring. "Ini jam berapa? Kamu nggak kerja?"

"Aku sudah ijin ke kantor hari ini. Mana mungkin kutinggalkan kamu seorang diri saat ini." Sahut Bhumi, lalu duduk di kursi yang tersedia di samping ranjang Hana. "Aku kembali kerumah subuh tadi saat kondisi kamu mulai stabil. Aku juga bawa beberapa pakaian ganti untuk kamu. Aku bantuin ganti baju ya?"

Wajah Hana terlihat enggan, namun ia baru sadar bahwa bajunya belum berganti sejak kemarin sepulangnya dari kantor. begitu juga dengan jilbabnya. "Nanti biar aku sendiri saja," jawab Hana.

"Bagaimana kamu bisa ganti sendiri, kamunya saja masih lemas begitu." Bhumi sudah mengeluarkan baju ganti Hana dari dalam tas ransel besar dan menutup tirai hingga tertutup rapat, karena ada satu pasien lain di kamar ini persis di sebelah ranjang Hana.

Melihat Hana yang ragu, Bhumi kembali duduk di sampingnya dan menggenggam tangan wanita itu. "Aku minta maaf atas kejadian waktu itu. Emosiku selalu tidak terkendali jika sudah tersulut. Tapi bagaimanapun kamu isteriku Na. Halal untukku."

Hana melihatnya dengan tatapan sendu, "Aku tahu. Tapi bukan dengan cara yang tidak beradab seperti itu. Aku manusia Bhum, bukan hewan." Balasnya lirih. Wajah Bhumi memerah malu. Pria itu menunduk dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Itu pertama untukku," lanjut Hana dan air mata wanita itu mengalir keluar dengan perlahan begitu saja. Bhumi mengulurkan tangannya menghapus air mata Hana. "Aku janji hal itu nggak akan terulang kembali."

Hana kembali terisak pelan. Bhumi merasa serba salah jadinya. "Na, nanti kondisi kamu drop lagi. Sudah ya please, yang penting kamu sembuh dulu. Nanti setelah sehat kamu mau pukul aku silahkan. Aku akan terima apapun bentuk kemarahan kamu sama aku." Bhumi kembali menghapus air mata Hana dengan jarinya.

Setelah tenang barulah Hana setuju berganti pakaian dengan bantuan Bhumi. Toh pria itu sudah terlanjur melihat semuanya. Namun tetap saja, Hana meminta Bhumi untuk menutup matanya ketika wanita itu hendak mengganti pakaian dalamnya.

***

"Sheira belum datang jenguk Lo?!" Seru Erika setengah terkejut. Hana, mejawab dengan gelengan kepala. "Kemarin perwakilan dari kantor yang datang mba Tika dan orang finance saja. Dia bahkan belum chat atau telfon Gue sama sekali sampai hari ini." Jawab Hana. "Gue merasa dia seperti menghindar dari Gue sekarang."

Erika menyerahkan potongan apel yang telah ia kupas kulitnya dan potong kecil. Penampilan wanita itu hari ini terlihat begitu formal dengan kemeja hitam, celana hitam dan blazer terracota. "Alasan dia menghindar kenapa? Karena Lo akhirnya nikah sama Bhumi? Dia merasa bersalah atau malah diam – diam nggak rela?"

Hana, mengangkat bahu acuh. Keadaannya sudah jauh lebih baik dibandingkan 3 hari lalu. Mungkin besok ia sudah diijinkan untuk kembali kerumah. "Dari awal kan Gue sudah pernah bilang sama Lo, itu anak rada aneh. Cuma ya Gue liat Lo kayak yang suka bergaul sama dia, jadi Gue nggak komentar lebih jauh lagi."

"Oh iya, Lo sudah tahu kenapa nyokap waktu itu bisa tiba-tiba ngegerebek Lo sama Bhumi di Kost-kost an?" lanjut Erika.

"Menjebak Gue, bukan menggerebek!" balas Hana protes.

"Whatever apalah namanya itu. Lo sudah tahu bagaimana cara Bhumi menjebak Lo dalam situasi itu?"

Sambil makan apel perlahan, Hana mulai kembali memikirkan hal itu. Hal yang sempat lenyap dari memori otakknya. "Belum. Lo tahu?"

"Gue Cuma bingung saja sih bagaimana cara Bhumi berhasil menghadirkan nyokap Lo ke kos tan Lo tiba-tiba malam itu. Dia punya nomor telf nyokap Lo?"

Dahi Hana terlihat berkerut "Harusnya sih nggak punya."

"See,...... terus bagaimana cara nyokap Lo bisa tiba-tiba datang dan dalam keadaan yang seolah sudah direncakan?"

Hana terlihat menggigit bibir bawahnya dan berpikir keras, "Yang punya nomor nyokap Gue kan Cuma Lo, saudara Gue yang di Tangerang dan Sheira,...." kata-kata terakhirnya menggantung di udara.

Mereka saling adu tatap, "Masa iya dia berkomplot sama Bhumi menjebak Gue?!"

"Ada dua kemungkinan sih. Antara Bhumi minta No. nyokap Lo sama dia atau dia yang menghubungi nyokap Lo secara langsung."

Raut wajah Hana tidak lagi setenang seperti semula, "Ya tapi kenapa? Gue jadi begini kan karena ulah dia juga?"

"Entahlah, maybe Bhumi ngancem dia. Sedikit banyak sekarang Gue kenal karakter suami Lo." 


Hana terdiamseribu bahasa. 

"Na, terkadang dalam dunia pertemanan itu memang ada yang se- bangsat itu." Lirih Erika, "Lo itu terlalu naif jadi orang, padahal sudah lama tinggal di Ibukota. Dari awal Lo sudah Gue peringatkan untuk lebih hati-hati sama dia." 


-------Bersambung------

siapa yang kemarin minta update nya cepat ?? minta double up? atau yang sering say "thank you/ Jazakillahu Khoir karena udah update" 

this is for you,... :) 

Bhumi Untuk HanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang