Dari kejauhan seseorang terus memanggil namanya. Suaranya terdengar cemas. Pipinya ditepuk berulang kali, aroma eucalyputs masuk ke indera penciumannya. Ia juga dapat merasakan telapak kakinya dipijat lembut.
"Na,... Raihana," suaranya berubah parau.
Perlahan, Hana mencoba membuka matanya yang terasa berat, dadanya masih terasa sesak dan tubuhnya lemas. Matanya mengerjap beberapa kali mencoba mengingat apa yang telah terjadi kepadanya. Wajah Bhumi tiba-tiba memenuhi segala ruang penglihatannya, dapat Hana lihat ada sisa airmata di sudut mata pria itu.
Kepingan ingatan Hana pun kembali pulih. Wanita itu kembali menutup matanya dan kembali menangis. Meski bukan kali pertama melihat Bhumi marah, namun baru kali ini ia melihat pria itu berubah menjadi begitu mengerikan dan tidak terkendali. Bhumi memeluknya erat, tubuh pria itu terasa bergetar. "Maafkan aku Na, sudah membuat kamu takut." Bisiknya, tangan pria itu lembut membelai rambut Hana.
Hana, perlahan tenang dan mencoba bangkit dari tidurnya. Bhumi menyerahkan segelas air putih untuk wanita itu minum. Disaat bersamaan seseorang datang masuk ke dalam rumah mereka dengan langkah tergesa dan orang itu adalah Eri. Wajahnya cemas ketika Hana melihatnya berdiri di depan muka pintu kamar.
Melihat sahabatnya yang terlihat kacau seperti itu membuat Eri naik pitam pada Bhumi, "Lo itu nggak lebih baik daripada mantan suaminya Sheira, Bhum! Kalian sama saja gilanya." Semprot Eri.
Bhumi, hanya diam karena dia tahu dia telah melakukan kesalahan. Eri, mendekati Hana di sisi satunya. "Na, Lo nggak apa-apa? Mau Gue anter ke Rumah sakit?"
Hana. menggeleng lemah "Nggak usah, Gue nggak apa-apa hanya sedikit shock saja tadi." Jawabnya parau.
Eri melemparkan pandangannya ke arah Bhumi, "Gue nggak takut yah masukin lo ke penjara juga kayak si Adit-"
"Ssst,.. tengah malam nggak enak takut kedengeran sama tetangga, nanti dikira ada apa-apa." Hana memotong.
"Ya memang ad,-"
"Riiiii...," Hana kembali memotong karena suara Eri malah meninggi, "Please, ini masalah rumah tangga Gue. Bhumi cuma kelewat emosi dan Gue yang sedikit shock karena belum pernah menghadapi situasi kayak gini, tapi nggak seperti yang lo pikir, Mas Bhumi tidak melakukan kekerasan sedikitpun sama Gue jadi nggak perlu diperpanjang."
Bhumi, bangkit dengan lunglai dan berjalan ke luar tanpa sepatah-kata apapun.
"Terus kenapa Lo bisa ada disini? Mas Bhumi nelf Lo?"
Eri mengangguk, "Dia nelfon Gue dan bilang kalau lo pingsan karena dia, itu lakik memang benar-benar psiko sih."
Hana menunduk menatap gelas kosong di tangannya, "Bhumi lihat Gue ketemu mas Imam di cafe tadi siang."
"Shit," Eri mengumpat.
"Bukan lo yang kasih tahu kan?"
Eri memutar bola matanya mendengar itu, "Lo curiga Gue ember sama Bhumi?"
Hana menggeleng dan menghela nafas "Bukan begitu, cuma bingung darimana Mas Bhumi tahu."
"Jangan-jangan ponsel lo disadap?"
Mereka saling memandang satu sama lain, asumsi yang sedikit masuk akal tapi siapa yang menyadap ponsel Hana? Bhumi kah? Sejauh itukah suaminya tidak mempercayainya? Rumah tangga mereka memang tidak dibangun oleh pondasi yang kokoh, semuanya berawal dari kebohongan dan dendam.
Hana, meminta Eri untuk pulang dengan sopan. Sudah pukul 1 dinihari, dia tidak ingin tetangga menerka-nerka apa yang sedang terjadi di dalam rumah mereka dan mengapa seorang wanita datang di tengah malam seperti itu.
Sepulangnya Eri dari rumah mereka, Hana, memutuskan untuk bangkit dan menemui Bhumi yang masih berada di bangku teras rumah mereka. Kesunyian malam akhirnya mampu membawa mereka sedikit lebih tenang. Hana, duduk di sebelah Bhumi. angin malam yang dingin menerpa kulit mereka.
"Mas," panggil Hana, membuka percakapan. Entah kenapa perasaannya tidak enak. Nampaknya mereka akan melewati malam ini tanpa terpejam.
Bhumi bersandar dan masih melihat ke arah langit yang tampak kelabu. Tidak ada cahaya bintang, juga tidak ada cahaya rembulan. "Aku yang salah," suara Bhumi seperti berbisik. "Aku yang sudah merusak masa depan kamu, semua impian dan cita-cita kamu karena keegoisanku sendiri. Harusnya aku dengarin kata-kata kamu dari awal kalau kita memang tidak cocok. Harusnya aku dengar kata Sheira, untuk tidak melampiaskan semua amarahku ke kamu karena kamu tidak ada hubungannya, latar belakang kehidupan kita juga jauh berbeda.
Aku yang terbiasa hidup keras di lapangan, dengan kamu yang dikelilingi orang-orang yang baik dan santun. Aku yang tidak tahu aturan dengan kamu yang hidup dalam didikan agama. Aku yang terbisa bersuara keras dengan kamu yang begitu lembut."
Hana, merasa seolah nafasnya menjadi berat. Ia mencoba menahan emosinya untuk tidak lagi menangis.
Bhumi menoleh ke arah Hana. "Tiap kali lihat kamu nangis, pada akhirnya aku selalu merasa bersalah. Berkali – kali aku bertanya pada diriku sendiri, apa yang telah aku perbuat sama kamu selama ini? Aku hanya terus menyakiti kamu pada akhirnya. Padahal, ada kehidupan lain yang pernah kamu impikan bersama orang lain."
Air mata Hana kembali jatuh.
"Hana, kamu berhak dapat pria lain yang lebih baik dari aku."
Hana menunduk dengan tubuhnya yang bergetar hebat, sedangkan Bhumi kembali mendongak agar tidak ada airmata yang tumpah dari matanya. "Akan lebih baik jika kita akhiri saja semuanya,"
Tangis Hana pecah, isakannya tertahan namun terdengar begitu pilu. Bhumi bangkit dari kursinya dan bersimpuh di depan Hana, tangannya terulur menghapus jejak airmata wanita itu. Dia teramat merasa bersalah. Hana yang dia kenal dulu adalah wanita yang ceria dan begitu energik. Ia mengubah wanita itu menjadi Hana yang lebih banyak menangis dibanding terawa.
"Meski telat aku mau minta maaf sama kamu, maafin aku ya Na." Isak tangis Hana semakin menderu, Bhumi seolah teriris mendengarnya. Bukan perpisahan yang Hana harapkan, ia masih ingin bersama pria itu. Ia ingin Bhumi tahu kalau mereka akhirnya dikaruniai keturunan. Ia tidak ingin Bhumi pergi dan melepaskannya, semua masih bisa diperbaiki.
Tapi semua kata-kata tidak mampu keluar dari bibirnya yang mungil. Bagaimana kalau ternyata Bhumi benar, mereka hanya akan saling menyakiti karena latar belakang mereka yang jauh berbeda. Hana tidak bisa menyeimbangkan dirinya dengan Bhumi. Hana merasa ia terlalu rapuh untuk pria seperti Bhumi. Pada akhirnya, Sheira lah yang memang lebih pantas untuk pria itu, Sheira lebih mengenalnya, lebih memahami karakternya, lebih segalanya.
------Bersambung-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Bhumi Untuk Hana
RomanceBerawal dari seringnya Hana menutupi kebohongan Sheira dari kekasihnya Bhumi, membuat Hana harus terkena getahnya ketika Sheira justru lebih memilih selingkuhannya untuk dan mencampakkan Bhumi begitu saja. Bhumi yang tidak terima dicampakkan begitu...