EMPAT BELAS

8K 459 13
                                    

Bhumi, hanya dapat menunduk malu sekarang. Bola mata Hana yang sejak tadi memelototinya membuat Bhumi tidak berkutik. Hana dengan telaten mengompres bagian wajah Ramzi yang memar dengan batu es sambil terus terusan meminta maaf atas nama suaminya.

"Memang kamu tidak mengenalkan suamimu sama wajah tampan Aa, Na? Foto Aa, pasti dong ada di Hp kamu?" Ramzi berkata pelan. Baik Hana dan Bhumi saling melempar pandang. "Mas, Bhumi nya saja yang asal bertindak. Foto foto Aa banyak dipajang dirumah kita di Bandung, tidak mungkin kan kalau Mas Bhumi tidak lihat." Hana mendengkus sebal. "Lagian Aa juga kenapa datang enggak bilang-bilang? Terus tahu alamat rumah ini darimana?"

"Aa, sengaja enggak kasih tahu kalian berdua biar surprise. Ya jelas tahu dari Mama. Kami hanya sebentar pulang, mau urus perpanjang surat ijin bekerja."

"Sekali lagi saya minta maaf. Lagi-lagi saya tidak dapat mengontrol emosi. Saya pikir Hana bermani gila dengan lelaki lain saat saya sedang bekerja di luar kota, hari ini saya baru kembali setelah 2 hari tidak pulang. Harap dimaklumi."

"Karna Mas selalu suudzon sama aku!" sela Hana marah. Bhumi ingi menimpali namun memilih menahan diri, karena tidak enak hati di depan kakak ipar dan temannya. Bhumi menghela nafas dan berkata lembut "Iya, Mas salah. Mas minta maaf ya,"

Hana kembali merenggut kesal. Disaat itulah, pandangan matanya kembali bertemu dengan Imam. Hana seketika menunduk malu, wajahnya terasa panas dipandangin oleh Imam. Ia bukan merasa terpesona atau malu karena dipandangi oleh Imam, namun Hana malu karena tidak dapat melaksanakan janjinya kepada pria itu, bahwa ia akan menunggunya kembali pulang ke tanah air.

"Aa nginap kan?" tanya Hana pada Ramzi dengan penuh harap.

Ramzi terkekeh pelan, "Aa sama Imam sudah pesan hotel tidak jauh dari sini. Menjelang malam nanti kami ijin pamit pergi."

Ekspresi Hana berubah menjadi sedih dan kecewa "Loh, kenapa harus di hotel Aa? Kenapa enggak menginap dirumah kami?"

Ramzi menarik nafas panjang, menatap wajah adiknya yang sudah hampir menangis "Aa kan datang bersama Imam, Na. Walaupun Aa ini saudara kandung Hana, tapi tetap tidak enak. Apalagi suamimu sudah 2 hari tidak pulang, tentu rindu dengan istrinya. Kalau kami disini tentu mengganggu kalian."

Bhumi tersenyum tipis, ia bersyukur Ramzi ternyata begitu mengerti. Baru Hana hendak protes kembali namun Ramzi memberi kode kepadanya untuk tidak berkata apa – apalagi. Pria berkulit sawo matang, postur tubuh tegap dan otot lengan yang sedikit menyembul itu mencubit hidung adiknya.

"Aa tidak tahu mengapa kamu tiba-tiba memutuskan untuk menikah. Terakhir kali kamu bilang mau coba ambil kuliah S2 beasiswa luar negeri. Tapi Aa yakin keputusan ini yang kamu mau dan terbaik untuk kamu." Tiba-tiba Ramzi berkata dengan mimik serius, kini tatapannya beralih kepada Bhumi "Saya sebagai kakak lelakinya menggantikan almarhum Bapak, yang di detik terakhirnya beliau menitipkan Raihana untuk saya jaga baik-baik. Kini Raihana, sudah menjadi istri kamu, saya harap kamu juga dapat menjaga Raihana dengan baik seperti kami menjaga ia sejak dulu."

Seketika suasana menjadi begitu serius. Usia Bhumi dan Ramzi yang memang seumuran membuat mereka terlihat dewasa dan tidak canggung. Bhumi menatap sesaat ke arah Hana sebelum akhirnya menganggung dengan mantap. "Kamu tidak usah khawatir, saya akan menjaga Hana sebaik mungkin dan tidak akan menyakitinya."

Kini terlihat segurat kelegaan di wajah Ramzi. Hana merasa begitu terharu, merasa dilindungi oleh orang-orang di sekitarnya. Benarkah ia seberuntung itu?

***

Sheira tidak masuk kantor hari ini. Hubungan mereka merenggang begitu saja, bukan Hana yang memulai itu semua melainkan Sheira yang terlihat menghindar. Aditya, sudah tidak bekerja di kantor ini 1 bulan sejak mereka berdua menikah. Pria itu memilih mengalah dan bekerja di tempat lain dibandingkan Sheira yang harus angkat kaki. Bagaimanapun peraturan di kantor ini melarang suami istri bekerja di satu tempat.

"Sheira itu kenapa ya Han?" Maya, staff HR, cantik bermata bulat nan seksi membuka percakapan di sela-sela makan siang mereka. "Belakangan ini dia sering nggak masuk kerja, kamu tahu dia kenapa akhir – akhir ini?"

Hana menggeleng pelan, "Nggak Mba, kenapa memang? Mungkin dia kelelahan saja."

"Kemarin saya ajak bicara empat mata dengan dia, karena jujur absensi dia lumayan banyak di bulan lalu hingga akhirnya saya putuskan untuk bicara berdua, karena jujur boss sudah mulai komplain dengan kerjaan nya yang mulai terhambat. Ini saya bicara dengan kamu saja karena saya lihat kalian cukup akrab." Maya berbicara panjang "Jadi kemarin saya lihat ada memar di pergelangan tangan dia Han, juga di pelipis kanannya. Saya tanya apakah terjadi sesuatu sama dia, namun Sheira hanya menggeleng dan bilang dia baik-baik saja."

Hana sedikit terperangah mendengar tutur kata dari Maya. Mungkinkah Sheira mengalami KDRT? Tapi Aditya yang dulu ia kenal seperti mustahil jika melakukan tindakan kekerasan. "Mba Maya serius soal memar-memar barusan yang mba bilang?

"Masa saya bercanda sih sama kamu. Saya ajak kamu makan bareng karena saya pikir mungkin kamu tahu sesuatu soal Sheira. Wajahnya juga tidak seceria dahulu. Anyway, semua orang mempunyai masalahnya masing-masing, meski sebagai HR saya tidak berhak mencampuri urusan kalian, namun jika sudah sampai mempengaruhi pekerjaan maka saya berhak bertanya apa masalahnya. Kamu kan tahu kita disini bekerja sebagai team. Satu orang terhambat maka akan mempengaruhi kerja team yang lain."

Hana mengangguk mengerti, "Tapi belakangan ini Ira pun seperti menjaga jarak dengan saya Mba, jadi jujur saya tidak tahu apa-apa soal dia sekarang."

"Iya enggak apa -apa, info saya kalau kamu tahu sesuatu ya, Na. Siapa tahu saya bisa membantu Sheira."

Raihana mengangguk mengerti dan perbincangan mereka barusan membuat Hana khawatir dan mulai berpikir negative. Mungkinkah Ira mendapatkan KDRT? Eh tapi kan memar bisa di dapatkan dari banyak hal, misalnya jatuh atau terbentur. Raihana berkata pada diri sendiri, menghalau cemasnya yang berlebihan.

Hana mencoba mengingat-ingat, ia baru sadar beberaa hari lalu ia sempat melihat Sheira memakai kacamata padahal sebelumnya wanita itu tidak pernah memakai kacamata. Ada sesuatu di sudut mata Ira waktu itu. Ah sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan dirinya? Haruskah Hana menghubunginya dan bertanya? Tapi, bagaimana kalau nanti dirinya kembali terseret lagi ke dalam permasalahn pribadi Sheira seperti waktu itu halnya dengan Bhumi?

Hana menggeleng keras, dan mencoba tidak memikirkan permasalahan wanita itu dan mulai kembali bekerja.



---Bersambung----


Haha, sorry sebelumnya salah tempat posting :P 

jadi maluu saiaaaa,... heehehehe 

Bhumi Untuk HanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang