bagian dua ; kenangan yang tertinggal

127 8 0
                                    

Seperti waktu, kenangan tidak bisa diulang

Memori itu hanya bisa dikenang

Sesekali dilihat hanya agar tidak lupa masa itu

Masa yang sudah tertinggal jauh di belakang

Masa yang sudah tertinggal jauh di belakang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Swan.

Sudah satu tahun lebih sejak aku melangkah pergi jauh dari Ibu kota. Meninggalkan pekerjaanku, teman-temanku, dan tentu meninggalkan laki-laki yang selalu memanggilku Angsa. Senyum getir tersungging di bibir, saliva terasa begitu pahit menelan kenyataan bahwa sudah 365 hari aku memutus komunikasi dengan laki-laki yang begitu aku kagumi.

Kagum.

Entahlah, bagaimana harus menyebutnya.

Aku tak berani menyebutnya dengan kata lain seperti sayang.. kasih.. atau bahkan cinta.

Itu rasanya terlalu muluk-muluk.

Mas Sean.

Gambaran dirinya muncul lagi bahkan setelah satu tahun lamanya aku tak beratatap muka. Menyebalkan bagaimana bayangan dirinya terus menerus mengikuti kemanapun aku pergi.

Kelihatannya rekam jejak Mas Sean terlalu tajam di ingatan.

Satu per satu momen kebersamaan kami muncul begitu saja tanpa aba-aba, tanpa permisi, menenggelamkanku pada masa-masa indah yang selalu ingin aku buang jauh-jauh. Seringkali aku meminta untuk dihapuskan kenanganku bersamanya, supaya aku lebih mudah menjalani sisa hidupku yang sekarang. Agar aku tidak terus menerus berpikir bawah suatu saat nanti akan datang waktu dimana aku dan dia bisa bersama kembali. Namun lagi-lagi itu hanya sebuah khayalan gadis bodoh yang dengan tega pergi tanpa pamit. Jangankan sebuah surat perpisahan, pertemuan untuk saling bertatap terahir kali pun tidak kulakukan.

Sengaja menutup rapat-rapat rencana kepergianku dari Ibu kota darinya. Pikirku, semuanya akan lebih mudah. Lebih gampang aku pergi dari sisinya, tapi sial, yang terjadi malah sebaliknya.

Kepergianku yang tanpa kata itu justru yang membuatku terhenti di satu tempat yang sama. Membuatku terpenjara perasaan sepi yang aku buat sendiri, rasa bersalah itu seolah menjadi bayangan yang terus mengikutiku.

"Kak," kurasakan puncak kepalaku diusap lembur. Aku mendongak untuk mendapati Papi yang kini berdiri di sampingku.

"Papi," balasku sama hangat dengan sapaan Papi.

"Boleh Papi duduk?"

"Duduk aja, Pi. Lagian Swan juga gabut sendirian dari tadi, kirain Papi masih sibuk di depan." Aku merujuk pada sebuah café yang ada di seberang rumahku. Sebuah bangunan dua lantai bernama Café Mawar. Café yang dibangun oleh Papi satu tahun lalu tepat bersamaan saat kami berdua pindah ke Yogyakarta.

kala hujan turun lagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang