Maya.
Tanpa sadar memori otak gue memutar ulang kejadian beberapa waktu lalu saat gur berdiri di rumah Nala. Hari itu gue datang dengan dada bergemuruh dan keringat dingin yang terus mengucur deras. Perasaan tak nyaman itu seketika menyergap gue. Terlebih ketika mata gue bertatapan dengan manik coklat meneduhkan milik perempuan bernama Lira. Perempuan yang pernah gue sakiti hatinya. Gue nggak pernah bermaksud untuk menyakiti hatinya, tapi segala tindak tanduk gue dimasa lalu menunjukkan jika guelah penjahatnya.
Hari itu setelah mengumpulkan keberanian yang cukup akhirnya gue datang lagi ke rumah Nala untuk meminta maaf pada Lira.
Gue nggak bisa bilang apapun selalin maaf padanya, karena rasa-rasanya permintaan maafpun nggak akan bisa menyembuhkan luka yang gue kasih buat dia. Gue yakin benar, meskipun Lira sudah memaafkan gue seperti perkataannya di sore itu, tapi perempuan itu nggak akan pernah lupa dengan apa yang terjadi.
Begitulah perempuan. Perkara memaafkan adalah hal yang cukup mudah dilakukan ketimbang untuk melupakan.
Gue menarik napas pelan, meskipun begitu ada sebuah perasaan syukur yang gue rasakan saat ini. Gue bisa menghirup udara lebih segar dari biasanya, dan desah napas yang keluar dari bibir gue adalah sebuah bentuk kelegaan. Mungkin benar, efek dari berani meminta maaf atas kesalahan adalah kita mendapatkan sebuah perasaan nyaman yang muncul begitu saja. Rasa bersalah serta beban dipundak menjadi lebih ringan dari sebelumnya. Dan gue bersyukur akan hal itu.
Nanti di waktu yang akan datang, masih ada orang lain yang harus mendapat permintaan maaf dari gue. Nala dan tentu saja Ale.
Ale, dia adalah laki-laki yang membuat gue memutuskan untuk kembali pulang ke Jakarta meninggalkan segala diam gue di Italia. Dia membuat gue terpaksa bergerak dan bersuara lagi. Karena diamnya gue selama ini adalah sebuah tindakan menghindar dan lari dari kenyataan. Sepertinya Ale mau gue berhenti untuk menolak kenyataan, dia mau gue bergerak pelan-pelan dan bersuara lagi bahwasannya semuanya harus dibicarakan dari hati ke hati. Sayangnya saat gue datang lagi ke Jakarta, dia sudah pergi duluan.
Kali ini dia yang menghindar. Gue paham kok, Ale pergi pasti ada alasannya, dia tau gue ke Jakarta dan kelihatannya dia belum siap jika harus bertemu gue tiba-tiba. Empat tahun nggak bertemu dan tanpa kabar jelas dia merasa diabaikan. Jujur, gue pun ingin menghubunginya memberikan sebuah kabar ke Ale setibanya gue di Italia. Namun saat itu, semuanya nggak sesimpel gue bertukar pesan padanya. Masih ada sebuah penolakan di dalam hati gue. Penolakan atas apa yang gue rasakan terhadap seorang laki-laki bernama Asmaralaya Legawa. Perasaan yang selama ini gue simpan rapat-rapat dan gue anggap sebagai angin lalu semata. Nyatanya perasaan itu tetap ada dan kian besar. Sebuah perasaan yang dinamai kasih sayang, yang kali ini sudah berubah menjadi sebuah penyesalan.
Gue memejamkan mata, membiarkan bayang-bayang Ale menguasai pikiran gue. Memori-memori kami berdua yang begitu lekat di ingatan seketika menghantui.
KAMU SEDANG MEMBACA
kala hujan turun lagi
General Fiction(SELESAI) Tentang mereka yang terluka di cerita sebelumnya Tentang mereka yang hanya muncul sebagai pelengkap di cerita sebelumnya Tentang mereka yang dikira akan hidup bahagia seterusnya di cerita yang pernah ada Juga tentang mereka yang ternyata m...