chapter 11 - tentang sore

39 4 0
                                    

Ale

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ale.

Seminggu lalu gue mendapat kabar bahwa Mba Lira sudah melahirkan anak kembar. Cowok dan cewek. Yang itu artinya sekarang Mba Lira dan Mas Nala sudah resmi menjadi seorang bapak dan ibu dari kedua anak mereka. Begitu juga dengan gue yang resmi menyandang status baru sebagai seorang 'Om'. Nggak pernah bayangin sebelumnya jika diusia gue yang 25 tahun ini, gue akan memiliki dua keponakan menggemaskan sekaligus. Kemarin gue sempat video call dengan Ayah dan melihat secara virtual ponakan gue itu. Keduanya sungguh lucu dan menggemaskan. Bagi gue, ini adalah pengalaman baru yang cukup mendebarkan. Rasanya gue ingin segera kembali ke Jakarta untuk melihat dua keponakan kembar gue itu. Namun lagi-lagi ada sesuatu yang menahan gue untuk pulang.

Gue bingung. Sepertinya alasannya nggak hanya satu, tapi ada dua.

Pertama, gue memang tengah dalam masa pelarian. Berlari dari kenyataan, sedang bersembunyi dari masa lalu yang justru malah datang menghampiri dengan sukarela. Gue belum mau dan belum siap untuk bertemu dengan Maya. Jujur, hati gue masih pilu jika mengingat momen-momen bersamanya. Lalu alasan yang kedua adalah Swan. Rasanya ini terlalu cepat untuk gue simpulkan, tapi memang kehadiran cewek itu bikin hari-hari gue disini sedikit lebih berwarna.

Gue belum ingin pergi jauh dari cewek berambut pirang itu, masih ada banyak hal yang ingin gue ketahui tentang hidupnya. Seperti ada yang mengikat gue untuk tetap berada di sini selama beberapa waktu ke depan. Selain karena pekerjaan gue di sini lagi banyak dan nggak bisa ditinggal, bercengkrama dengan Swan juga menjadi salah satu kegiatan yang gue tunggu-tunggu. Dua bulan terakhir ini menjadi waktu yang begitu intens untuk mengenalnya. Sadar betul jika setiap obrolan kami berdua ada sesuatu yang membuat gue nyaman untuk berlama-lama bersamanya. Sesekali gue bahkan lupa alasan utama gue datang ke kota ini adalah untuk mengasingkan diri.

Swan, gadis itu membuat gue nyaman dan akrab. Gue nggak merasa asing untuk berada di dekatnya dan dia selalu memberikan kesan bahwa gue dan dia sudah saling mengenal lama. Beberapa hari lalu, saat dia datang ke paviliun dan nggak sengaja menemukan sebuah polaroid foto gue dan Maya, respon gue jelas berbeda dari biasanya. Jika biasanya gue akan bete dan langsung badmood, kemarin gue malah nyaris membongkar sebuah cerita yang bertahun-tahun gue pendam sendiri itu.

Mungkin nanti jika sudah waktunya, Swan akan tau siapa cewek yang ada di polaroid itu dan seberapa penting dia untuk gue.

"Kak Ale!" panjang umur sekali cewek itu. Seolah tau lagi gue pikirin, suaranya terdengar candu di telinga. Nggak lama wajahnya muncul dari balik pintu teras kamarnya, dia melambaikan tangan riang. Sekali lagi, jika melihat dia yang riang dan hampir selalu memasang wajah gembira itu mana ada yang menyangka jika masa kecilnya sungguh kelam.

"Hai." Gue menyapanya, berusaha menahan ekspresi gue tetap datar.

"Kak Ale, bisa bantuin aku nggak?" katanya setengah berteriak. Gue menghela napas, mengalah untuk berjalan mendekat ke arah teras kamarnya di siang hari bolong begini. Langit di atas gue teramat cerah dan matahari seakan-akan siap untuk memanggang siapapun yang berdiri di radar jangkauan cahayanya.

kala hujan turun lagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang