chapter 23 - bukan pengecut perasaan

63 6 0
                                    

Maya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Maya.

"Galau kenapa lagi lo?" sebuah suara yang nggak asing terdengar di telinga. Gue terpaksa mendongak untuk mendapati seseorang dengan rambut panjang hitam legam berdiri di depan gue. Gue melengos, sedang nggak nafsu untuk membalas ucapannya. Gue mengalihkan pandangan ke jalanan Jakarta yang tentu saja padat merayap selama genap 24 jam.

Cewek itu sudah duduk di hadapan gue tanpa perlu disuruh. Dia menyilangkan kaki lantas kedua tangannya terlipat di depan dada. Sebuah pose yang agak menjengkelkan namun gue lagi nggak punya tenaga untuk berdebat dengannya.

"Gue ngomong sama lo bukan sama tembok."

"Lagian lo ngapain di sini? Gue nggak mau ngomong sama lo."

"Beneran lagi galau ternyata."

Gue memutar mata sebal. Memilih kembali meneguk cairan hitam pahit yang ada di cangkir. "Gue nggak galau ya, Iris."

Kedua mata kami akhirnya bertemu. Kenapa di saat gue seperti ini harus Iris yang ada di depan gue? kenapa harus dia yang memergoki gue meminum kopi pahit dan mojok di café sendirian begini? Gue menghela napas pendek. Menyesali keputusan gue untuk keluar dari apartemen jam sebelas malam dan berakhir bertemu dengan perempuan bernama Iris Pradyana.

Sudah sangat lama semenjak pertemuan terakhir kami. Empat atau lima tahun lalu mungkin, sebelum gue mutusin untuk pergi jauh dari Jakarta. Gue nggak terlalu suka dengan Iris. Nggak ada alasan tertentu, hanya saja melihat dia yang begitu ambis dan egois terkadang mengingatkan pada diri gue yang dulu. Diri gue yang sangat menyebalkan dan nggak peduli dengan perasaan orang lain. Namun kali ini, ada perasaan senang yang meletup. Melihat Iris yang terlihat lebih menikmati hidup ketimbang terus memforsir tubuhnya untuk industri membuat gue senang. Tubuhnya nggak sekurus terakhir kali kami ketemu. Rambutnya jauh lebih sehat, karena terakhir kali ketemu sepertinya dia sedang banyak pikiran dan dilanda stres hebat sampai harus mengenakan wig terutama saat bekerja.

"Ternyata lo beneran balik ke Jakarta, kirain cuma rumor doang."

"Beneran lah."

"Ngapain lo balik ke Jakarta."

"Ada urusan."

"Urusan yang nggak pernah selesai dari kapan tahun itu?" pertanyaan Iris bikin gue mengalihkan pandangan padanya. Cewek itu mengeluarkan sebatang rokok, kebetulan kami berdua berada di area outdoor dan tentu saja siapapun diperbolehkan merokok di area ini.

"Masih ngerokok aja lo."

"Kalau lagi pusing gue ngerokok. Kebiasaan dari dulu."

"Nggak baik buat kesehatan lo."

"Sejak kapan lo jadi perhatian sama gue begini? Dari dulu kan lo nggak pernah suka sama gue."

"Itu juga yang mau gue bilang ke lo. Ngapain juga lo perhatian sama gue sedangkan dari dulu lo selalu snewen sama gue."

kala hujan turun lagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang