Ale.
Sudah satu bulan gue kembali menghirup udara pengap kota Jakarta. Sebuah kota yang gue tinggali sejak lahir. Tumbuh besar dan dewasa di kota ini. Banyak hal yang gue ingat tentang Jakarta. Termasuk tentang segala kisah cinta gue dengan Maya yang ternyata hanya sebatas angan saja. Sebuah cinta yang dibiarkan terpendam lama untuk lantas menguap di udara. Mau bagaimana lagi toh semua sudah terjadi dan beginilah akhirnya. Sekarang gue dan Maya memutuskan untuk hidup masing-masing. Setidaknya kami berdua sudah tau perasaan satu sama lainnya, bahwa dulu sekian taun yang lalu gue dan dia memiliki perasaan yang sama. Sebuah perasaan bernama cinta.
Gue nggak pernah menyesali pertemuan kami berdua kok. Walaupun takdir nggak memihak pada kami, paling tidak gue dan Maya sama-sama dapat pembelajaran berharga.
Dari kisah tak sampai itu, gue sendiri belajar bahwa benar adanya kok mencintai seseorang bukan berarti gue harus memiliki dia. Memaksakan keadaan untuk bersama juga bukan sebuah solusi yang tepat. Selain itu gue juga bisa belajar untuk menerima kenyataan kalau rencana Tuhan memang selalu yang terbaik. Meskipun harus ada harga yang harus gue bayar dengan pengorbanan yang nggak sedikit.
Rasa sakit yang disebabkan atas cinta yang terpendam ini tentu saja bertahan sangat lama di dalam hati gue. Menjadi sebuah penyakit hati yang bertahun-tahun nggak bisa disembuhkan. Makin hari lukanya kian lebar dan menganga. Mengingat masa sulit itu tentu bikin dada gue nyeri. Nggak bisa bohong saat itu menjadi masa yang sukar untuk gue jalani sendirian. Beruntungnya gue yang memiliki seorang pendengar luar biasa baik seperti Ayah dan seorang teman macam Juna yang bisa gue jadikan tempat sampah setiap harinya.
Gue menarik napas pendek seraya menyeruput cairan kopi di cangkir. Mata gue menerawang jauh kebelakang. Tidak terlalu jauh, sekitar setengah tahun lalu saat gue memutuskan untuk mengasingkan diri ke kota orang. Sebuah pengasingan yang akhirnya membawa gue kepada seseorang yang sekarang menjadi alasan gue tetap mau bertahan hidup sedikit lebih lama. Mengingat nama dan wajahnya, mau nggak mau senyum gue tercipta. Swan Nirwasita. Nama yang nggak akan pernah gue sangka menjadi semacam magnet yang menarik gue untuk tetap berada di sisinya. Dunia yang tadinya hanya berputar pada seseorang bernama Lasmaya Armantha segera berubah haluan dan mengitari sosoknya yang selalu ceria.
Gue enggan membandingkan keduanya, namun bagi gue sekarang Swan adalah seseorang yang bisa mengembalikan senyum dan tawa gue kembali. Kehadirannya yang seringkali tidak bisa gue tebak dan selalu acak itu berhasil membuat gue kelimpungan dengan segala tingkah polahnya. Gue mulai terbiasa dengan senyumnya. Suara sapaannya di sore hari sambil membawa cangkir teh untuk ngobrol perihal kejadian hari ini. Juga tawa renyahnya yang seolah mampu mengubah dunia suram gue kembali sumringah. Dunia yang bertahun-tahun dibiarkan gersang dan tandus itu kini mulai berubah menjadi sebuah taman dengan ratusan jenis bunga dan kupu-kupu di dalamnya.
Saat ini gue menyukai bagaimana cara gue memandang sebuah cinta pada seseorang. Gue mencintai Swan dan gue mau dia ada di dekat gue. Gue ingin menjaganya supaya tetap aman dan nyaman selama berada bersama gue. Bahwa perasaan cinta yang sudah tumbuh ini harus diungkapkan. Melalui kata juga perbuatan. Gue tau benar sekarang, ketika gue sayang sama Swan gue mau dia tau bahwa gue memang sayang dan punya perasaan kasih padanya. Gue nggak mau membiarkan dia menerka-nerka perasaan gue yang sesungguhnya. Dengan senang hari gue akan membagi perasaan gue padanya, mengatakan gue sayang sama dia dan menunjukkan dengan segala tindakan gue ke dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
kala hujan turun lagi
Художественная проза(SELESAI) Tentang mereka yang terluka di cerita sebelumnya Tentang mereka yang hanya muncul sebagai pelengkap di cerita sebelumnya Tentang mereka yang dikira akan hidup bahagia seterusnya di cerita yang pernah ada Juga tentang mereka yang ternyata m...