chapter 12 - pemintaan maaf

39 4 0
                                    

Sean

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sean.

Satu tahun setengah sudah terlewati tanpa kehadiran sosok Swan di dalam hidup gue. Gue nggak pernah tau bagaimana kehidupan dia sekarang, seperti apa dia menjalani hidupnya, apa dia masih suka bawel, masihkah dia bertanya pertanyaan random dan tingkahnya yang seperti anak kecil itu. Gue nggak ada ide sama sekali soal keberadaannya. Kalo diingat-ingat, gue nyaris nggak pernah ingin tau seperti apa hidupnya dulu. Selama gue dan dia dekat, kebanyakan hanya gue yang cerita dan hanya gue yang ingin didengarkan. Gue merasa bersalah banget sama dia. Saking egoisnya gue, Swan lebih banyak diam dan mendengar serta menghibur gue yang tengah patah hati kala itu.

Gue menjadi egois dan nggak mau tau soal perasaannya, apa dia keberatan saat gue bercerita soal Lira, apa dia baik-baik saja saat gue membahas perempuan lain yang bukan dia, gue pun nggak pernah bertanya apa dia mau mendengarkan kisah gue. Kala itu gue hanya bercerita tanpa bertanya lebih dulu dan sekarang rasa penyesalan mengikuti gue sepanjang waktu. Sebegitu nggak pedulinya gue terhadap perasaan Swan. Kelihatan sekali gue hanya memanfaatkan kehadirannya untuk menghibur sebagai pelampiasan atas sakit hati gue. Gue akui saat itu jelas gue belum sedewasa sekarang, pemikiran gue masih dikuasi oleh perasaan emosional dan ingin menunjukkan kalo gue ini nggak kalah. Padahal dalam hubungan percintaan nggak ada yang namanya menang dan kalah, kan? Yang ada hanya siapa yang bertahan dan menyerah dalam berjuang.

Gue menyingkap rambut frustasi.

Perasaan gue ke Swan masih ada, namun sepertinya perasaan itu sudah berubah menjadi gundukan penyesalan dan rasa bersalah yang menggumpal. Sampai beberapa waktu terakhir, gue masih menyalahkan Swan yang pergi tanpa pamit, tapi kalo dipikir kembali mungkin dia pergi karena sudah nggak tahan dengan gue. Dia sudah terlalu sabar menghadapi keegoisan gue dalam menyikap segala yang terjadi dalam hidup.

Helaan napas lolos begitu saja dari bibir gue.

Pertemuan gue dengan Maya di Bali sedikit mengubah bagaimana cara pandang gue dalam berpikir dan bersikap. Jika sebelumnya gue hanya mau dihibur, kali ini gue juga mau menghibur dia. Gue nggak mau melulu jadi seseorang yang bercerita dan tidak peduli dengan pihak lain. Saat ini gue mau jadi pendengar juga, gue ingin lawan bicara gue berbicara banyak hal tentang hidupnya supaya gue tau tentang dalam-dalamnya hidup mereka.

Sebagai manusia yang terus belajar untuk memahami satu sama lain, gue pun ingin belajar memahami Maya yang sakitnya sama seperti gue. Lebih dari sebelumnya, sekarang gue mau bersama-sama untuk belajar menerima masa lalu masing-masing. Bahwa masa lalu itu sudah terjadi dan biarkan tertinggal di belakang tanpa harus merasa perih ketika mengingatnya. Memang kenyataannya nggak mudah, harus ada perasaan luar biasa ikhlas untuk menerimanya. Gue harus menurunkan ego saat mendengar Maya bercerita tentang Ale, gue nggak boleh marah saat dia terang-terangan menunjukkan ekspresi sedihnya ketika tau Ale pergi dari Jakarta, gue harus belajar untuk menunjukkan rasa empati gue ke Maya bahwa gue peduli sama dia.

Gue belum bercerita apapun soal Swan ke Maya. Mungkin nanti lah saat waktunya sudah cocok, gue akan mulai berbagi kesedihan gue pasca ditinggal Swan. Kedekatan gue dan Maya nggak bisa tiba-tiba disimpulkan sebagai seorang cewek dan cowok yang sedang cari pelarian dan membutuh seseorang untuk menghibur, gue mau hubungan kita menjadi hubungan timbal balik untuk saling memahami layaknya seorang teman. Gue nggak mau melupakan seseorang karena kehadiran orang baru. Kesalahan gue sebelumnya cukup berakhir di Swan saja nggak perlu bertambah ke orang lain lagi.

kala hujan turun lagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang