chapter 29 - berdamai

46 5 0
                                    

Swan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Swan.

Sejauh cerita ini ditulis, aku belum sempat mengenalkan bagaimana sosok ibu pada kalian yang membaca kisahku. Sungguh, aku bingung dan tidak tau harus mulai darimana menceritakan sosoknya yang nggak pernah aku kenal itu. Aku tidak pernah tau bagaimana sosoknya secara langsung, tidak pernah merasakan sentuhannya bahkan melihatnya pun belum pernah. Jadi rasanya begitu sulit untuk aku menjelaskan bagaimana perasaanku sebenarnya tentang sosoknya.

Sejak aku lahir hingga umurku 24 tahun ini, aku hidup bersama seorang laki-laki yang aku panggil Papi. Sejak kecil aku terbiasa dengan kehadiran beliau tanpa pernah merasakan kekurangan kasih sayang. Meskipun acapkali Papi merasa kalau pekerjaannya mengganggu tugasnya bagi seorang ayah, namun bagiku itu semua sudah lebih dari cukup. Sebagai seorang anak tunggal dari orangtua tunggal aku tidak bisa meminta lebih. Apa yang Papi berikan padaku selalu aku terima dengan rasa syukur dan terima kasih.

Sampai detik ini sesungguhnya aku tidak pernah bertanya jauh bagaimana sosok ibu dimata orang lain. Baik dimata Papi, Mbah Kakung atau Mbah putri. Aku tidak pernah menanyakan, karena perasaan 'aneh' yang muncul ketika aku kecil. Tumbuh di lingkungan yang menganggap bahwa tidak memiliki ibu adalah sebuah kacacatan sosial, membuatku menyalahkan baliau tanpa alasan. Sejak kecil aku jadi tidak ingin mengenal sosok ibu lebih jauh. Sesekali Papi menceritakan tentang bagaimana mereka bertemu, jatuh cinta kepada ibu, menikahi ibu, hingga hembus napas terakhir ibu. Namun, aku yang saat itu memiliki perasaan benci hanya menganggap hal itu sebagai angin lalu saja. Aku mendengar Papi tak lebih karena ingin beliau didengarkan dan punya teman cerita.

Seiring berjalannya waktu, aku tumbuh dewasa dan aku mengerti jika kepergian beliau bukanlah kemauannya. Dan tentu ada campur tangan dari takdir Tuhan dalam garis tangannya, jadi aku mulai menerima kenyataan itu. Bahwa tidak memiliki ibu bukanlah sebuah cacat sosial. Bukan sebuah aib yang harus dijadikan bahan olok-olokan. Dan tentu bukan sebuah rasa malu yang harus ditanggung dari kami sebagai anak yang tidak tau apa-apa.

Sekarang usiaku sudah 24 tahun dan aku masih belum tau bagaimana aku harus memanggil beliau. Ibu? Mami? Mama? Bunda? Nggak tau dan belum pernah kepikiran. Selama ini aku hanya menyebut sebagai seorang ibu dalam arti yang umum, bukan sebuah panggilan tertentu. Entahlah, mulai dari kapan aku mulai menerima kenyataan itu sebagai sebuah perasaan rindu yang kadang muncul tiba-tiba. Aku menyimpan sebuah foto usang pemberian Papi di dompetku. Sebuah foto yang menunjukkan dua anak manusia yang tengah berdiri dengan gaun pengantin sederhana di depan sebuah rumah berwarna putih gading. Sebuah foto yang bagian pinggirnya sudah mengelupas dan terkikis oleh waktu. Laki-laki yang berdiri dengan setelan jas hitam yang rapi dan rambut disisir ke belakang itu adalah Papi saat usianya di pertengahan dua puluhan. Dia tersenyum lebar memandang sosok perempuan anggun dan cantik yang berdiri di sebalahnya. Seorang perempuan yang Papi kenalkan sebagai ibuku. Seorang perempuan yang melahirkan aku mempertaruhkan nyawanya sendiri untukku, anaknya satu-satunya yang tidak sempat dia lihat dengan matanya sendiri.

kala hujan turun lagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang