chapter 10 - awal yang baru

36 4 2
                                    

Maya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Maya.

Keadaan hidup gue setelah mantap berhenti dari dunia hiburan menjadi jauh lebih baik. Gue nggak perlu menerima komentar atau pandangan sinis dari orang lain. Perlahan-lahan orang di luar sana melupakan bagaimana bentuk wajah gue. Awalnya sulit untuk menerima hal tersebut, gue tau semuanya butuh proses. Meninggalkan sebuah dunia yang membesarkan nama dan membuat gue ada di posisi sekarang itu nggak mudah. Gue akui itu memang sulit. Butuh waktu yang cukup alot dan perjuangan luar biasa untuk akhirnya terbiasa menjadi manusia biasa pada umumnya.

Manusia biasa yang bisa salah, manusia biasa yang bisa juga melakukan kesalahan, gue bisa bebas keluar kemanapun tanpa menggunakan make up. Gue nggak perlu terus menjaga berat badan gue untuk alasan menjaga bentuk tubuh supaya tetap cantik dan oke di kamera. Selain itu gue juga bisa melakukan apapun yang gue mau tanpa khawatir akan menjadi berita utama di media sosial.

Mata gue beralih pada sebuah layar persegi panjang yang tertempel di dinding. Televisi menyala tanpa suara menampilkan muda-mudi yang tengah membangun karier mereka di dunia hiburan Ibukota. Melihat mereka yang mengumbar senyum ramah, menjawab pertanyaan dari setiap wartawan tanpa terkecuali membuat gue teringat kembali masa itu. Masa dimana gue harus tetap ramah tamah meskipun sedang kelelahan atau rasa kantuk menguasai. Sebuah berita online bisa jadi bumeran luar biasa bagi seorang public figure, salah menjawab atau salah bersikap semua berita akan dibalik tidak sesuai fakta. Korban bisa jadi pelaku, yang harusnya dilindungi malah dibully habis-habisan. Lalu yang terjadi selanjutnya tentu saja diblacklist di seluruh stasiun tv bahkan pemutusan kontrak iklan yang sudah kadung ditandatangani.

Tangan gue reflek memencet tombol power pada remot lalu menyandarkan punggung ke sofa.

"May, besok jangan lupa kontrol ke Dokter Rena ya. Jangan sampai Mama yang diteror sama Mas Gian." Ujar wanita paruh baya yang tengah menyiapkan makanan di meja makan. Gue menoleh untuk mendapati ekspresinya yang jengkel karena tau gue sudah mangkir dari jadwal rutin gue dua kali. Dia Mama gue dan 'Mas Gian' yang dimaksud adalah Papa gue.

"Iya Mama, besok aku ke rumah sakit."

"Jangan kabur lagi ya."

"Kemarin ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal."

"Maya, kamu nggak sepenting itu di kantor sampai harus memforsir tenaga dan pikiranmu." Balas Mama yang bikin gue sedikit sebal. Tapi memang iya sih, gue nggak sepenting itu sampai harus menyelesaikan pekerjaan di hari itu juga. Gue ditemani satu asisten di kantor yang secara rutin dan memberikan ilmu ke gue soal apa-apa saja yang harus gue kerjakan, jadi pekerjaan gue bisa terselesaikan dengan baik. Kalaupun tidak biasanya akan dia selesaikan dengan bantuan pekerja yang lain.

Kata Mama yang penting gue ada kesibukan dan nggak hanya duduk bengong di apartemen. Menurutnya bagus jika gue banyak bertemu dengan orang lain terutama para karyawan yang memang sudah mengabdi puluhan tahun di butik Mama. Selama ini gue hanya sekedar mampir dan nggak banyak terlibat dengan kegiatan di dalamnya. Kali ini Mama mau gue untuk membantunya di butik. Seberapapun kecilnya kontribusi gue di butik Mama sangat menghargai itu. Gue tau kok, Mama hanya ingin supaya gue beradaptasi dengan babak hidup yang baru.

kala hujan turun lagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang