Maya.
Semenjak beberapa hari lalu, gue merenung untuk apa yang harus gue lakukan selanjutnya. Gue nggak bisa terus berdiam diri seperti ini menunggu sesuatu yang nggak tau kapan akan datang. Salah satu hal yang paling gue nggak suka adalah menunggu. Entah menunggu seseorang, menunggu sebuah kepastian, apapun itu yang namanya menunggu nggak pernah menyenangkan. Gue akan bergelut dengan kesepian dan keheningan dalam waktu yang lama.
Kali ini gue bertekad untuk melakukan sesuatu. Sekecil apapun itu gue harap nantinya akan menemukan sebuah titik terang. Gue percaya semua hal besar berawal dari tindakan kecil yang dianggap nggak berarti. Dan gue mau melakukan hal kecil itu dari sekarang, ketimbang hanya menunggu dan duduk diam pasrah tanpa arah tujuan.
Gue menarik napas dalam-dalam. Meyakinkan diri untuk tetap tenang dan percaya kalo apa yang akan gue lakukan ini adalah sesuatu yang benar dan nggak akan gue sesali nantinya. Seperti dejavu, gue saat ini tengah berdiri di depan sebuah bangunan yang terbilang cukup besar untk ukuran sebuah studio foto. Gue mendongak untuk melihat sebuah papan nama besar yang terletak di bagian samping atas bagunan.
Sebuah huruf yang terangkai menjadi sebuah nama. Rumah Kenangan.
Rumah Kenangan adalah studio foto yang dibangun dari nol oleh dua orang yang gue kenal bersahabat baik. Yaitu Juna dan Ale. Gue mengenal mereka berdua sejak jaman kuliah, meskipun gue condong lebih dekat ke Ale ketimbang Juna. Laki-laki itu terlalu ramah ke semua orang dan gue nggak suka. Bukan apa-apa, kadang baik ke semua orang apalagi kaum hawa juga nggak baik, kan? Terlebih kalo sudah punya pacar. Gue salut banget sama pacarnya yang terima-terima aja tuh laki berkawan baik sama banyak perempuan. Nggak tau seluas apa hatinya bisa menerima pasangan yang sefriendly itu ke orang lain.
Stop bahas Juna dan kebrengsekannya. Well, gue sedikit banyak tau soal dia dari Nares. Soal Juna dan Iris. Tapi ya sudahlah toh gue ke sini bukan untuk membahas soal Juna dan kisahnya, tapi tentang gue dan Ale. Lebih tepatnya soal Ale. Gue mau mendengar tentang Ale dari orang terdekatnya. Gue nggak mungkin bisa mendengar kisah Ale dari Nala ataupun ayahnya, tapi paling nggak gue bisa tau dari sahabat terdekat Ale selama ini. Juna.
Kembali ke Rumah Kenanga, sebagai dua orang yang sama-sama suka dunia memotret, Juna dan Ale berbagi kesempatan dan kepercayaan untuk membangun sebuah studio foto bersama. Awalnya Rumah Kenangan nggak sebesar ini, hanya sebuah studio foto dengan luas 3x4 meter persegi. Lambat laun sepertinya bisnis mereka berjalan dengan lancar sehingga keduanya bisa menyewa bangunan yang lebih luas dan berlantai dua di depan gue ini. Satu tangan gue menyentuh dada merasakan degup jantung yang bertalu-talu nggak karuan. Padahal gue hanya akan bertemu dengan Juna tapi udah deg-degan seperti ini. Bagaimana jika bertemu dengan Ale, bisa lemas semua badan gue.
Sekali lagi gue menghebuskan napas panjang.
Dengan langkah kaki yang cukup berat gue masuk ke dalam studio foto itu. Bertemu dengan salah satu karyawan yang berjaga lalu menyampaikan maksud kedatangan gue. Nggak lama setelahnya, gue diantar ke lantai dua ke sebuah ruangan yang gue pastikan adalah ruangan Juna.
KAMU SEDANG MEMBACA
kala hujan turun lagi
Narrativa generale(SELESAI) Tentang mereka yang terluka di cerita sebelumnya Tentang mereka yang hanya muncul sebagai pelengkap di cerita sebelumnya Tentang mereka yang dikira akan hidup bahagia seterusnya di cerita yang pernah ada Juga tentang mereka yang ternyata m...