chapter 2 - pertemuan yang kesekian kalinya

57 4 0
                                    

Maya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Maya.

Angin Bali menyentuh kulit gue lembut. Tidak terlalu kencang tapi cukup untuk menerbangkan rambut yang dibiarkan terurai jatuh di punggung. Gue susupkan jari kaki ke hamparan pasir pantai putih yang hangat. Debur ombak terdengar syahdu di telinga, sayup-sayup bisa gue dengar pekikan tertahan yang diiringi tawa renyah. Mata gue beralih memandang sekeliling yang dipenuhi oleh manusia-manusia yang tengah menghibur diri.

Menghibur diri.

Entahlah, ungkapan itu sesuai atau tidak dengan relaita yang ada di sini.

Sebagian orang datang ke sini untuk liburan, kan? Menghibur diri dari hari yang penat, dari tumpukan pekerjaan yang entah kapan selesainya, sebagai bentuk penghargaan atas pencapaian diri sendiri yang sudah bertahan sejauh ini. Nyatanya setiap manusia selalu punya cara dan alasan untuk menghibur dirinya sendiri. Dengan berlibur ke tempat-tempat seperti ini mungkin.

Pantai.

Tempat yang akan jadi top list wisata. Setiap musim libur tiba, pantai pasti akan selalu jadi tujuan utama orang-orang di dunia. Termasuk gue. Gue juga nggak tau kenapa rasanya pantai selalu jadi tempat pulang paling nyaman ketika ada alternatif lain yang lebih dekat dan lebih mudah dijangkau.

Seminggu lalu, gue sampai di Bali dengan selamat. Memutuskan kembali ke Indonesia bukan berarti gue kembali ke Jakarta, kan? Memang sih, awalnya gue pengin langsung ke Jakarta dan kembali ke apartemen gue yang sudah lama dibiarkan dipake oleh orang lain alias gue sewakan. Tadinya Nyokap ngasih ide untuk di jual tapi gue menolak. Gue merasa masih butuh apartemen itu jika sewaktu-waktu pulang kembali ke Jakarta.

Alasan gue nggak langsung balik ke Jakarta sepulang dari Italy adalah gue belum siap. Ternyata nggak semudah itu untuk menghadapi kenyataan yang ada di depan mata. Untuk tetap berdiri tegap menghadapi takdir yang sudah dituliskan ternyata sulit sekali. Bahkan saat pertama sampai menginjakan kaki di bandara, berat sekali untuk melangkah. Gue pikir akan mudah setelah sampai di sini, namun yang terjadi malah sebaliknya.

Dan sekali lagi gue mencoba melarikan diri.

Hembusan napas lolos dari bibir gue.

Kilauan matahari yang seemas logam itu memantul di air laut yang tenang. Membuat pantulan emas itu menyilaukan mata tapi juga indah di waktu yang bersamaan. Beberapa burung beterbangan bebas di atas laut keemasan persis seperti sebuah lukisan di atas kanvas. Lengkap dengan matahari yang sebentar lagi kembali ke peraduannya.

Sejujurnya menyenangkan melihat pemandangan seperti ini setiap hari, merasakan angin hangat yang bercampur aroma ombak pantai yang khas. Menikmati langit lengkap dengan matahari yang turun ke peraduannya diiringi kicau burung di sampingnya. Menyenangkan sekali. Tapi bagi gue itu semua harus dibayar dengan mahal.

Gue menatap sekeliling. Nggak ada satupun dari mereka yang kini mengenali gue sebagai seorang yang dulu pernah populer pada masanya. Gue tau kok empat tahun memang bukan waktu yang sebentar, meninggalkan segala keartisan gue di tanah air dan memilih untuk tinggal di negeri orang untuk waktu yang lama. Sadar bahwa apa yang gue miliki dulu akan sangat sulit untuk gue dapatkan sekarang. Terlebih dengan persaingan saat ini yang begitu ketat. Jangankan empat tahun vakum, satu dua bulan nggak muncul di televisi saja orang-orang bisa lupa bagaimana bentuk wajah gue.

kala hujan turun lagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang