chapter 3 - hari bersamanya

51 6 0
                                    

Ale

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ale.

Gue selalu menyukai suasana sore hari menjelang petang. Di saat langit mulai berwarna oranye, waktu angin sedang sejuk-sejuknya, dan saat semua orang bersiap untuk pulang ke tempat yang disebut rumah. Sejak kecil, setiap waktu sore datang gue dengan antusias akan berdiri di depan pintu untuk menunggu Ayah pulang kerja. Berharap Ayah pulang membawa mainan baru atau paling nggak jajan kesukaan gue. Kadang Ayah pulang bawa martabak telor, kadang roti bakar, atau sekedar permen ceker yang bikin lidah lo merah setelah menit pertama menghisapnya.

Masa kecil memang menyenangkan. Setidaknya setelah gue tumbuh dewasa, masa-masa itu sering gue rindukan. Ada banyak waktu dimana gue mau masa-masa itu terulang kembali, meskipun ada beberapa bagian yang ingin gue hapus. Masa dimana gue merasa kalo Ibu lebih sayang sama Mas Nala ketimbang gue.

Tarikan napas gue berat.

Membahas momen-momen dimana gue merasa nggak disayang sama Ibu selalu berhasil bikin hati gue ciut. Waktu dimana gue seringkali iri sama Mas Nala yang selalu ditanya mau bawa bekal apa ke sekolah, atau sesepele ditanya 'Mas ada pr dari bu guru, nggak?' setiap habis makan malam. Lalu Ibu akan menemani Mas Nala belajar semalaman dan gue berakhir sendirian di kamar.

Pernah sekali gue tanya hal itu ke Ayah, dulu banget waktu gue masih di sekolah dasar. Gue nggak berani tanya ke Ibu, makanya gue tanya ke Ayah, itulah alasan kenapa sampai sekarang gue begitu dekat sama Ayah. Karena Ayah adalah sebuah jawaban dari setiap pertanyaan yang ada di kepala gue dan nggak ada orang lain yang mengerti gue sebaik Ayah, bahkan Ibu sendiri.

"Yah, kenapa Ibu nggak mau nemenin Ale belajar ya? Kenapa selalu Mas Nala yang ditemenin? Kan Mas sudah besar sudah bisa belajar sendiri." Protes gue waktu itu.

"Karena Ale anak yang baik, anak hebat, makanya Ale bisa belajar sendiri. Mas mu itu kadang nakal kalo dibiarkan belajar sendiri, jadi harus ditemani Ibu." Jawaban Ayah saat itu nggak berarti apa-apa buat gue, apalah arti jawaban bernada menenangkan itu untuk gue yang masih sekolah kelas 5 SD. Gue tetap sedih dan iri sama Mas Nala untuk waktu yang lama. Sampai kemudian gue sadar, mungkin dari kecil Ibu tau jika gue dan Mas Nala punya kepribadian yang jauh berbeda. Mas Nala, meskipun terlihat begitu sumringah dan ceria, ada banyak hal-hal yang dia pendam sendiri tanpa tau dengan siapa harus bercerita. Mas Nala nggak akan cerita kalo nggak ditanya dulu. Sedangkan gue, sebelum ditanya gue akan bilang apa yang gue mau. Gue akan protes ketika sesuatu nggak sesuai keinginan gue, gue bisa bebas mengatakan apa yang ada di dalam hati dan pikiran gue kalo dirasa kurang pas.

Lalu setelah kepergian Ibu, gue baru paham, kalo Ibu hanya berusaha menjadi sosok ibu yang baik bagi kedua anaknya. Memberikan kasih sayang sesuai porsinya. Dengan gue, ketimbang harus bertanya basa basi, Ibu akan lebih banyak mendengarkan setiap kali gue ngoceh dari a sampai z. Ibu lebih banyak diam jika bersama gue, kadang senyumnya tersungging lalu ada banyak momen beliau tertawa mendengar ocehan nggak penting dari mulut gue.

kala hujan turun lagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang