bagian pertama ; luka lama

326 11 2
                                    

Kita yang hanya jadi pelengkap.

Ada, tapi hanya untuk melengkapi

Hadir, tapi hanya sebagai pengamat

Kadang mencintai seseorang menjadi rasa paling menyedihkan

Karena sepi yang ditimbulkan seringkali jadi teman

****

****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ale.

Akhir-akhir ini gue seringkali terdiam di balkon kamar sembari memandang langit. Entah itu pagi, siang, sore ataupun malam. Entah saat langit berwarna mulai kekuningan, kebiruan bahkan saat langit mulai menghitam.

Gue nggak tau apa yang sebenarnya ada dipikiran gue setiap kali sendiri. Rasanya ada terlalu banyak pikiran yang terperangkap di otak gue. Kepala gue berisik hampir setiap jam, mungkin setiap detiknya. Gue sampai heran dengan otak gue yang nggak ada capeknya bekerja 24 jam tanpa henti. Tanpa ada jeda ataupun hening yang agak lama.

Tarikan napas gue berat.

Gue mengalihkan pandangan saat seseorang mengulurkan secangkir kopi. Kepala gue kembali memandang langit saat tangan gue mengambil alih secangkir kopi dari tangan laki-laki paruh baya itu.

"Udah malem loh, Le. Belum mau tidur?" katanya.

"Belum ngantuk."

"Akhir-akhir ini kamu banyak melamun. Lagi ada masalah di kantor?"

Gue menggeleng tipis. Kedua tangan gue menggenggam cangkir kopi yang nggak terlalu panas itu. Ada helaan napas tipis dari gue, betapa laki-laki paruh baya di samping gue ini paham kalo gue nggak bisa minum minuman yang terlalu panas.

"Ada yang mau diceritain?" suara beratnya terdengar lagi. Lagi-lagi gue menggeleng tipis.

Sebenarnya ada masalah yang jelas terngiang di kepala gue, tapi rasanya sekarang bukan waktu yang tepat.

"Nggak ada, Yah. Lagi capek aja paling." Kata gue seadanya, semacam kalimat yang gue gunakan untuk menenangkan beliau.

Ayah.

Setelah kepergian Ibu dua tahun silam, gue dan Ayah tinggal berdua. Hanya berdua. Karena Mas Nala dan Mba Lira tinggal sendiri di rumah mereka dan hanya sesekali datang kemari.

Kalo boleh bicara lebih banyak, sebenarnya gue dan Ayah lebih dekat dari yang orang lain pikirkan. Ada banyak hal yang gue ceritakan pada Ayah, soal pekerjaan, soal mimpi-mimpi gue, soal perempuan. Ada banyak kisah yang gue bagi ke Ayah yang nggak gue bagi ke orang lain, termasuk Mas Nala.

Sejujurnya gue dan Mas Nala nggak sedekat itu. Banyak waktu yang telewatkan oleh kita berdua hanya dengan duduk diam tanpa saling berbagi ataupun bercanda layaknya kakak adik pada umumnya. Gue nggak tau tapi gue merasa begitu tertutup pada kakak gue itu begitupun sebaliknya. Mas Nala nggak pernah merasa membutuhkan gue dan itu bikin gue juga perlahan menjauh dari dia. Lambat laun jarak itu makin lebar membuat gue dan Mas jadi asing. Sebuah hubungan yang nggak pernah Ayah harapkan untuk kedua anaknya yang mulai beranjak dewasa.

kala hujan turun lagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang