chapter 21 - meninggalkan jogjakarta

57 6 0
                                    

Ale

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ale.

Gue baru saja menutup sambungan telfon dari Ayah. Hembusan napas gue lolos, omelan Ayah masih bergema di telinga gue. Seperti pada hari-hari biasanya, Ayah kembali menyuruh gue untuk pulang ke Jakarta. Sepertinya beliau sudah kelewat kangen sama gue. Gue hanya geleng-geleng kepala sesekali terkekeh karena Ayah sepertinya cukup kewalahan dengan bertambahnya dua anggota baru yaitu Nandana dan Kirana. Anak kembar dari Mas Nala dan Mba Lira.

Sejujurnya gue sedikit merasa bersalah ke mereka berdua, karena sejak kelahiran mereka yang sudah hampir dua bulan, tapi gue sebagai omnya malah belum sempat sekalipun menjenguk. Entahlah, gue hanya merasa jika di kota ini gue sudah menemukan kenyamanan. Meskipun tetap Jakarta akan menjadi rumah gue. Kota ini bisa jadi tempat singgah untuk sementara atau pelarian untuk sesaat.

Belum ada alasan yang meyakinkan gue untuk segera kembali ke Jakarta. Gue masih ingin terus di Jogja, terlebih karena di kota ini ada gadis bernama Swan Nirwasita. Ah, lagi-lagi namanya yang langsung terpikir di benak gue. Mata gue sibuk memandang langit-langit kamar, memikirkan minggu ini enaknya apa kegiatan yang bisa gue habiskan bersama gadis berambut pirang itu. Harus gue akui, menghabiskan waktu bersama Swan memang sedikit merepotkan karena bawelnya, namun sesungguhnya setiap perjalanan yang gue lakukan bersamanya selalu menyenangkan. Mendengar celotehannya ataupun celetukannya yang kadang-kadang diluar nalar itu bikin gue sadar kalo cewek seperti Swan memang benar-benar ada. Mungkin karena dia nggak punya banyak teman, jadilah setiap kali ketemu gue dia langsung merepet nggak ada habisnya.

Nggak.. nggak.. gue sama sekali nggak keberatan kok dia merepet ke gue. Bahkan gue akan bingung kalo tuh anak tiba-tiba jadi pendiam dan nggak mengumbar senyum. Gue pun nggak mau kalau senyum itu hilang dari wajahnya. Raut wajah Swan yang selalu ceria itu membawa dampak positif bagi orang-orang sekitarnya termasuk gue. Dia itu seperti vitamin dalam bentuk manusia. Selalu menyenangkan bicara dan mendengar dia bercerita, meskipun kadang kala ada cerita sedih di dalamnya.

"Enaknya weekend ini kemana ya?" gue bergumam sendiri sambil terus memandang langit-langit kamar seolah dia adalah benda hidup yang bisa berbicara.

Otak gue berhenti berpikir ketika ponsel yang berada di samping gue bergetar. "Apalagi nih bocah kecil telfon gue." Ujar gue pelan, menduga jika yang menelfon adalah Swan. Karena siapa lagi yang menelfon gue tiba-tiba di jam 11 malam seperti ini.

Namun, dugaan gue salah besar.

Gue terpaku untuk beberapa saat setelah melihat sebuah nomor yang gue kenali itu. Nomor yang nggak gue simpan, tapi gue hapal betul setiap angkanya. Gue menelan ludah susah payah. Demi melihat kembali nomor yang terpampang di layar itu gue harus duduk dan membuka mata gue lebar-lebar.

Kenapa?

Ngapain?

Ada apa?

kala hujan turun lagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang