Swan.
Aku menghembuskan napas lega bersamaan dengan kututup laptop yang sudah seharian ini kuajak bekerja. Kalo bisa bicara pasti laptopku sudah mengeluh dari tadi karena dipaksa full seharian ini. Meskipun nggak bekerja kantoran, tapi seninku rasanya sama saja seperti orang kebanyakan. Dari pagi aku sudah sibuk dengan menyelesaikan pekerjaan desaign, belum lagi aku ada deadline yang harus aku rampungkan malam ini juga sebelum tujuh malam. Jadilah sedari pagi aku hanya berkutat di dalam kamar sembali sesekali meregangkan tubuhku.
Mataku menatap sebuah kalender yang sengaja aku taruh di samping laptop. "Udah bulan Desember aja." Gumamku. Memori di otakku begitu saja memutar potongan adegan yang terjadi di sepanjang tahun ini. Nggak terasa satu tahun sudah terlewati. Itu artinya sudah nyaris 18 bulan penuh aku nggak bertemu dengan Mas Sean dan nggak tau bagaimana kabarnya sekarang. Aku hanya bisa mendoakan jika dia baik-baik saja dan menjalani hidupnya seperti biasa. Tapi kelihatannya agak sulit, mengingat disini akupun berjuang untuk melupakannya setiap hari. Mungkin dia sama tersiksanya denganku.
"Tapi bisa jadi Mas Sean malah nggak kepikiran aku sama sekali ya?" aku bertanya-tanya pada diriku sendiri.
Sama seperti hari-hari sebelumnya, ada banyak momen dimana aku jadi teringat kembali masa-masa aku bersama dengan Mas Sean. Masa dimana aku pertama kali merasakan getaran yang dinamakan cinta terhadap lawan jenis. Sebuah perasaan yang tiba dijelaskan tapi aku cukup peka untuk menamai perasaan itu sebagai kasih sayang. Bukan kasih sayang terhadap seorang teman atau rekan kerja, perasaanku ke Mas Sean jelas lebih dari itu. Perasaan peduli, perasaan sayang, perasaan tidak mau kehilangan itu adalah sebuah bentuk cinta kasihku untuk dia.
Perasaan kagum dan penasaran itu lama-lama bertumbuh subur menjadi sebuah perasaan sayang dan rasa ingin memiliki. Aku sadar betul hal itu sedikit mustahil, mengingat bagaimana Mas Sean yang saat itu masih menaruh hati pada Mba Lira. Aku tidak menyalahkan Mba Lira kok, sama sekali tidak. Mengontrol perasaan seseorang itu diluar kendaliku, aku hanya bisa mengendalikan apa yang aku punya, yaitu perasaanku sendiri. Aku tidak bisa membuat Mas Sean membalas perasaanku secara gamblang terlebih dia masih dalam masa pemulihan pasca ditinggal Mba Lira. Semuanya terasa berjalan begitu cepat, aku tidak sempat untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan pada Mas Sean. Begitupun sebaliknya, bagiku Mas Sean adalah bentuk kehilangan sebelum berhasil dimiliki.
Sesungguhnya diantara aku dan Mas Sean, nggak ada satupun dari kami yang saling mengutarakan cinta. Aku takut jika aku mengungkapkan perasaanku padanya, semuanya akan berubah dan hubunganku dengannya akan canggung. Mungkin Mas Sean pun berpikir begitu, atau bisa jadi dia malah tidak punya perasaan yang sama denganku. Tapi tidak juga, aku bisa merasakan jika Mas Sean pun memiliki rasa yang sama.
Tau nggak sih, saat kita suka sama orang dan kita juga tau kalo sebenarnya orang itu suka sama kita, tapi nggak ada satupun yang berani bicara. Entah karena takut ditolak, entah karena belum selesai dengan masa lalunya, atau itu adalah bentuk untuk saling melindungi pihak lain supaya tidak terlalu tersakiti. Nah itulah yang aku rasakan. Jujur, aku pun frustasi sendiri merasakannya, kenapa aku tidak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaan yang aku rasakan padanya. Toh tidak ada yang salah kan dalam mencintai seseorang, terlebih Mas Sean juga bukan milik siapapun kala itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
kala hujan turun lagi
Ficção Geral(SELESAI) Tentang mereka yang terluka di cerita sebelumnya Tentang mereka yang hanya muncul sebagai pelengkap di cerita sebelumnya Tentang mereka yang dikira akan hidup bahagia seterusnya di cerita yang pernah ada Juga tentang mereka yang ternyata m...