33. Tumbal?

28 6 0
                                    

Heyyow
Absen syggg >>>

Dadah😁🤞🏻

-

-

-

-

-

"Harus banget malam ini lagi?"

"Kalau ditunda, lo keburu pindah alam."

Cakra mendengus sebal. Perkara malam kemarin mereka bertemu sebuah kain putih yang menggantung di dekat jendela kelas–yang mereka sebut kuntilanak–akhirnya mereka malah berlarian dan gagal memeriksa ruangan ujung yang seharusnya sudah diketahui apa isi di dalamnya.

"Malam ini harus tuntas." kata Adrian sambil menoleh ke arah Kirana yang sedang sibuk dengan komputer di ruangan khusus. "Masih belum ketemu juga latar belakang dia?"

Kirana mengembuskan napas berat. Frustrasi karena sulit sekali membobol data kepala sekolah SMA Arta Bimantara. "Apa maksudnya, sih, anjir? Padahal data siswa gampang dicari, tapi selain ranking sepuluh pararel."

"Maksudnya?" tanya yang lain bersamaan.

"Ya ... data siswa biasa itu bisa di ketahui gampang banget, sementara data anak yang masuk ke dalan ranking sepuluh besar itu gak masuk,"

"Data apa aja yang bisa di publish?" tanya Bintang penasaran.

"Data pribadi yang sewajarnya, sih. Cuma, ada beberapa yang gak seharusnya di perlihatkan malah sebaliknya. Pekerjaan orang tua, keaktifan di ekstrakulikuler, status dalam OSIS, dan yang lainnya." beber Kirana sambil meng-scroll apa yang dia baca. Gadis itu berkacak pinggang sambil menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan sekolahnya.

"Unfaedah banget," sindir Irsyad. Cowok itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada, mengerutkan dahi sambil terus mengamati data yang ditunjukkan di layar komputer

"Pilih kasih anjay!" sungut Khandra. Dia menggebrak meja di depannya. "Pantes aja sekolah tetangga suka nyinyir, ternyata emang sekolahnya gak bisa menghargai privasi siswa!" 

"Gue udah cek flashdisk dan pindah file, kayaknya gak waras emang kepsek kita," imbuh Dena sambil ogah-ogahan menyerahkan flashdisk ke tangan Fariz. "Buang aja. Sampah."

Fariz memasukkannya ke dalam saku jaket. Wajahnya benar-benar tak berekspresi, berbeda dengan Dena yang saat ini mengernyit bingung. "Kok di masukin saku?!"

"Masih bisa di pake."

Bintang mondar-mandir memikirkan cara yang paling baik untuk melakukan pergerakan, tapi terlalu banyak berpikir juga tidak baik.

Kepala Adrian berdenyut, pandangannya kabur. Kenapa rasanya begitu sakit? Padahal seingat Adrian, dia sudah sarapan sebelum pergi ke markas.

Dadanya seperti dihujam benda tombak besi panas, sakit sekali.

"Eh, lo kenapa, Ian?"

Adrian menggeleng dan menjauhkan tangan Irsyad yang ingin membantunya. "Gak, gue gak apa apa. Asam lambung aja kayaknya,"

Di waktu yang bersamaan, perut Bintang juga sama sakitnya seperti Adrian. Kepalanya seperti mau pecah sekarang, benar benar pusing.

"Kalian berdua kenapa?!" tanya Irsyad yang jadi semakin panik. Atensi anak anak lain lalu ikut mengarah pada Bintang dan Adrian, mereka berlutut menahan sakit.

"Ini gila banget," celetuk Elina sambil menatap keduanya dengan panik.

"Kenapa? Ada sesuatu di sini, Lin?" tanya Dena yang seakan tahu apa yang Elina maksud.

"Like hell."

Semuanya menoleh dan bertatapan satu sama lain.

"Kalian inget posisi ruangan yang kita mau cek terus tapi gagal, 'kan?" tanya Elina memastikan, semua mengangguk.

"Kayaknya ... itu ruangan pesugihan."

"HAH?" semua serentak melongo, sementara Adrian dan Bintang masih berusaha menahan sakitnya.

"Nanti gue jelasin dapat teori dari mana. Sekarang kita fokus sama mereka aja!" ujar Elina panik dan mendekati keduanya mencoba membantu.

"Jangan jangan ini tumbal berikutnya lagi?" celetuk Khandra yang kemudian mendapat tampolan keras di bagian kepala oleh Cakra.

"Mulut lo anjir!"

"Tapi mereka kesakitan gitu! Gue khawatir emang kepala sekolah kita udah sengaja numbalin mereka karena ngerasa kalau semua rahasianya bentar lagi terbongkar!" jelas Khandra sambil mengusap kepalanya yang dipukul oleh Cakra.

Semua terdiam. Itu bisa terjadi, kan? Tapi ... kenapa cuma mereka berdua? kenapa gak semuanya aja?

"Gue panggil bokap gue."

*****

"Makasih, Om." ujar Adrian sambil berusaha bangkit dari posisi rebahannya. Sementara Bintang, dia masih dalam kondisi tak sadarkan diri.

"Sama-sama, Nak. Tapi, Om gak paham kalian ini bisa begini karena apa? Awalnya bagaimana?"

Adrian menatap Fariz yang tengah berdiri tepat di samping abi-nya itu. Bingung, haruskah mereka menceritakan ini atau tetap bergerak sendiri? Karena ... nyawa adalah taruhannya.

"Abi, nanti Fariz jelasin di rumah," sela Fariz saat Adrian membuka mulutnya untuk mengatakan semuanya.

Setelah bebincang cukup lama, Fariz memutuskan untuk pulang dulu untuk mengantarkan abi-nya. Dia akan menceritakan semuanya di sana nanti.

"Masih sakit?" tanya Inara sambil membawakan minum untuk keduanya, sementara Elina masih menatap miris mereka sambil menggeleng heran.

"Guys, i know now why this all happened!" seru Kirana sambil membawa selembar kertas karton putih yang digulung rapi. Semuanya mendekat ke Kirana, gadis itu lalu membentangkan karton putihnya.

Di sisi lain, Inara masih fokus dengan Adrian. "Kamu jangan dulu banyak gerak." pintanya sambil menahan lengan Adrian.

"Ra, apa yang Khandra bilang tadi benar?" tanya Adrian memastikan. Inara menelan ludahnya susah payah.

"Soal itu ... kamu sama Bintang–"

"Hampir jadi tumbal." timpal Elina geram. Nada bicaranya terdengar  kesal.

Adrian menghela napas lega. Syukurlah dia masih bisa diselamatkan, karena setahu dia, jika seseorang sudah dijadikan tumbal, maka kemungkinan kecil dia akan selamat.

"Kita harus bergerak secepatnya, khawatir kalian jadi tumbal pelampiasan nanti." terang Adrian dengan sorot mata tajam menatap layar komputer yang menunjukkan profil kepala sekolah mereka.

"Kalau nyawa gue taruhannya, gue siap. Asalkan gue yang terakhir."

Segini dulu bebski😋😋💐

Vote+komen yuu

Siyuuu

ADRIAN [ REVISI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang