XVI "Berakhir"

17.7K 669 49
                                    

Selamat membaca

Jangan lupa vote!



"Wes to, ayo ndang gage. Umi iku wes kangen kaleh sampeyan"

"Sabar to Daf. Aku iki yo
lagek mlaku. Mbok kiro aku brangkang"

Perdebatan antara kang Arip dan juga kang Dafa terus saja berlanjut hingga sampai didepan gerbang, dimana kedua orang tua kang Arip yang sudah menunggu.

"Assalamualaikum, umi, abah"

"Wa'alaikumus salam. Alhamdulillah, kamu disini baik-baik ajakan?" Tanya sang umi ketika kang Arip mencium punggung tangannya. Tak lupa dengan logat medok miliknya.

"Alhamdulillah, umi" jawab kang Arip dan berganti untuk mencium punggung tangan sang abah.

"Eh, Dafa kaleh Adam. Kok makin ganteng aja" puji umi kang Arip membuat dua sejoli itu malu-malu semut.

"Bisa aja umi ini. Umi gimana kabarnya?"

"Alhamdulillah, sehat"

"Em, kalian kesana dulu ya. Saya mau ngomong sama anak saya dulu. Ini, tunggu sambil makan aja" ujar abah dan diangguki semangat oleh dua sejoli itu.

"Nggeh, siap"

Kang Dafa dan juga kang Adam lalu pergi dari sana setelah mereka pamit dan memberi salam. Tak lupa, mereka membawa kresek berisian jajanan yang pasti mereka buru.

Dan kini, hanya tinggal tiga orang berbeda usia yang hanya diam dalam keheningan setelah kepergian kang Dafa dan juga kang Adam.

"Abah sama umi nggak usah repot-repot lagi datang kesini. Arip aja udah seneng kalo abah sam umi telfon. Nggak usah repot-repot datang langsung kesini. Lagian perjalannya lumayan jauh, nanti kalian kecapean" ujar kang Arip mengawali acara mengobrolnya.

"Ya nggak papalah. Kan umi sama abah juga kangen pengen peluk kamu, lagian perjalanan juga nggak terlalu jauh banget" ujar uminya kang Arip sambil mengelus lembut tangan kang Arip.

"Tapi, Arip bukan darah daging kalian. Arip merasa nggak berhak dapet kasih sayang yang melimpah dari kalian. Kalian sudah banyak memberikan Arip kasih sayang yang luar biasa. Arip-"

"Hey, walaupun Arip bukan darah daging umi sama abah. Tapi, tetap saja ditubuh Arip masih ada darah keluarga kita. Arip nggak boleh kayak gitu, Arip seperti nggak bersyukur dapet kasih sayang kami. Atau Arip udah nggak mau dapat kasih sayang dari umi sama abah?" Ujar abahnya kang Arip memotong pembicaraan sang anak.

Kang Arip tampak panik ketika mendengar itu. "Bukan, Arip mau dapat kasih sayang dari kalian. Arip masih mau, walaupun kalian bukan orang tua kandung Arip. Tetap, Arip masih membutuhkan kalian" ujarnya sambil menahan tangis.

Umi dan abah kang Arip tambak tersenyum haru dan memeluk kang Arip yang berada ditengah-tengah mereka dengan erat.

"Kami memang bukan orang tua kandungmu. Kami hanya bibi dan juga pamanmu, tapi kami akan selalu berusaha untuk menjadi orang tua yang terbaik untukmu" ucapan dari umi membuat tangis kang Arip tak tertahan lagi.

Nyatanya, kang Arip yang selalu memperlihatkan sikapnya yang tenang itu menyimpan luka dimasa lalunya.

Dimana ia hampir dibuang oleh kedua orang tuanya jika tidak ditahan oleh umi dan abah saat itu.

Ia sempat juga berfikir jika dirinya hanyalah seorang anak haram yang tak diterima oleh kedua orang tuanya.

Disaat itu, umurnya yang masih enam tahun harus memiliki tekanan batin karena kedua orang tuanya yang selalu menyalahkan kelahiran dirinya.

Menjadi Yang Kedua "TERBIT" (PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang