Bab 1

1.3K 112 7
                                    

Naka berkutat di depan laptopnya sambil sesekali membenarkan kaca mata yang bertengger di hidungnya.

Deadline... Yah... Satu kata itulah yang mampu membuatnya tampak menyedihkan seperti sekarang ini. Rambut panjangnya yang sedikit ikal digelung begitu saja tanpa ada kesan rapi, cangkir kopi yang menumpuk tanpa sempat ia kembalikan ke dapur setelah meminum tandas isinya. Belum lagi kamarnya yang bak kapal pecah.

"Astaga... Anak perawannnn!" terdengar suara keluhan seorang wanita paruh baya di ambang pintu menatap Naka.

Naka menoleh sebentar ke arah pintu kamarnya, lalu nyengir kuda dan kembali berkutat di layar laptopnya.

"Naka! Ini kamar atau kandang kuda? Jorok banget enggak ada rapinya kamu! Gimana mau ada lelaki yang ngelamar kamu kalau kamunya seperti ini?" keluh Martina.

Lagi... Naka hanya menoleh sebentar ke arah pintu lalu nyengir kuda dan balik fokus ke laptopnya. Pantesan kamarnya kayak kandang kuda, hobinya suka nyengir kuda sih...

Seorang pria tampan ikut menghampiri ke pintu kamar Naka yang terbuka lebar.

"Kenapa lagi sih Bunda?"

"Itu adikmu loh Fan. Kelakuannya kok makin hari makin bikin naik gula darah Bunda. Kamar berantakan, penampilan kucel... Gak yakin deh dia udah mandi apa nggak seharian ini. Kapan Bunda mau terima lamaran dari keluarga lelaki kalau begini ceritanya... Hanya lelaki gak normal yang bakal mau sama adikmu ini." keluh Martina.

"Saya bersedia kok Bun nikahin Naka..." seorang lelaki tampan lainnya datang dari arah kamar Gerfandy, abangnya si Naka.

Naka memutar bola matanya jengah. Kalau si playboy cap jengkol yang nama panggilannya sama dengan daleman cewek itu mulai merayu Bundanya dipastikan Naka bakal tampak menyedihkan.

"Aduh Bra... Mana pantes anak Bunda yang jorok, pemalas, dan suka seenaknya itu sama lelaki mapan, tampan, rupawan kayak kamu. Malu dong Bunda sama keluarga kamu." kata Martina.

Tuh kan bener... Bunda mulai deh mengagungkan si playboy kampret cap jengkol dan ngejatuhin anak sendiri... Keluh Naka dalam hati sambil geleng-geleng kepala.

Libra tersenyum manis. Sumpah! Itu senyum emang pantes banget di muka dia. Ga tau kenapa, kalo si lelaki dengan nama panggilan daleman perempuan itu senyum, hati Naka suka dag-dig-dug sendiri. Makanya Naka suka menghindari senyuman itu, biar nggak bikin jantungnya ketar-ketir. Intinya spesies kayak dia harus dihindari.

"Enggak lah Bunda. Naka itu paket komplit buat dijadikan istrinya Libra dan calon menantu idaman Mama banget pastinya." kata Libra tersenyum lagi.

"Aduh... So sweet banget sih kamu..." Martina mencubit gemas pipi pria tampan itu ke kanan dan kiri membuat Libra hanya bisa mengikuti pasrah gerakan Bunda.

Sukurin... Naka tertawa geli sambil mengumpat dalam hati.

"Naka... Bunda terima lamaran nak Libra aja ya. Kurang apa sih dia. Udah ganteng, baik ter-"

"Aduh Bunda..." kata Naka meremas rambutnya sendiri hingga beberapa anakan rambutnya lepas. Hal itu tak luput dari tatapan mata Libra.

"Naka ini udah di ujung tanduk hidupnya. Bahas jodoh dan soal lamaran kapan-kapan aja deh. Soalnya malam ini, artikel liputannya Naka udah harus masuk ke editor mau naik cetak. Naka mohon, Bunda sama bang Fandi sama si playboy cap jengkol keluar dulu gih dari kamar Naka. Please Bunda..." Naka memohon dengan memelas sambil menyatukan kedua telapak tangannya.

"Makanya loe itu nyari kerja yang bener dek. Kalau perempuan mah lomba cari kerja di tempat adem nan sejuk terus berangkat kerja pake setelan baju cantik dan wajah di poles make-up. Lah elo, milih kerja jadi wartawati, yang kerjanya wara-wiri mondar-mandir nggak jelas. Penampilan juga nggak ke urus kan." keluh Fandi.

Love Story (Naka & Libra)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang