Malam itu, suasana kamar kost Seno begitu mewah dengan perabotan dan perangkat elektronik yang menjadikannya tampak istimewa. Damar, terbaring di atas kasur sambil asyik bermain ponselnya. Di sudut kamar, Nabil, dengan raut wajah serius, tenggelam dalam dunia pembacaan buku detektif. Sementara itu, Seno, duduk di sebelah Damar.
Nabil memutuskan untuk mencairkan suasana dengan pertanyaan yang menggoda. "Hubungan lu sama si Tya gimana, Dam? Udah lu sikat belum?"
Seno tertawa pelan, menyemangati Damar untuk mengungkapkan perasaannya. "Tembaklah udah nyaman juga kan kalian."
Namun, sikap skeptis Damar tak bisa diabaikan begitu saja.
"Lu apaan si ngimpi banget jadi detektif-detektifan!" ledek Damar sambil menampar bukunya Nabil.
Nabil menghela nafas panjang, merasa pembicaraan mereka dialihkan dari inti topik. "Dih dih ngalihin pembicaraan."
Nada dering ponsel Damar tiba-tiba terdengar memecah keheningan kamar.
"Nah, Tya sayang tuh nelpon," ucap Seno sambil nyengir.
Damar mengangkat teleponnya, "Halo. Lagi di kost temen... Elah si Nabil, si bodoh ini."
Seno tidak bisa menahan godaan untuk memparodikan suara seorang perempuan. "Sayang... belum puas ini? Ayo, lagi!"
Nabil, yang ingin mengacaukan suasana, memainkan perannya dengan pura-pura mabuk. "Eh, Dam, gimana kalau kita minum satu botol lagi? Belum naik ini. Aaahhh..."
Seno kembali menyelinapkan suara perempuan palsu dengan cermat. "Ayo, buka lagi!"
Damar segera menutup mikrofon ponselnya, kesal dengan lelucon yang berlarut-larut. "Diem lu, bangsat!"
Nabil memberikan semangat diam-diam dengan suaranya yang samar. "Tembak, tembak!"
Damar memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan di telepon dengan keputusasaan yang menggelora. Enggak, biasa itu temen-temenku pada brengsek... Yaudah bye..."
Damar menutup teleponnya dengan tegas, kemudian memarahi dan memukuli sahabatnya dengan penuh emosi. "Brengsek lu berdua ya!"
Nabil dan Seno hanya tertawa-tawa, menghiasi ruangan dengan riuh tawa mereka.
***
10 orang, 7 pengunjung serta 3 karyawan perpustakaan, mengerumuni jasad Seno yang tergeletak di sana. Damar, dalam keadaan gugup, berusaha menjelaskan.
"Gua baru keluar dari kamar mandi, kok bisa lihat sahabat gua langsung begini kondisinya!"
"Gue tadi lagi balikin buku ke Bu Sri," Nabil memerikan alasannya.
Bu Sri mengangguk membenarkan. "Ho'oh."
Rio Si Gamer, memberikan klarifikasi. "Lagi main game aja dari tadi, enggak ngelakuin yang lain-lain."
Pak Rahman, dengan wajah yang lelah akibat bekerja di belakang, kebingungan dengan keramaian yang tiba-tiba. "Baru selesai beres-beres tadi di belakang, tiba-tiba ada apa nih, rame-rame, ternyata... astaghfirullah..."
Sinta Si Kutu Buku, memberikan penjelasan. "Aku dari tadi baca buku sambil ngafalin rumus-rumus buat olimpiade Matematika bulan depan."
David memberikan perspektif. "Kita dari tadi gak tahu apa-apa, cuma duduk-duduk aja."
Mereka semua kemudian menatap tajam pada sosok Orang Baru yang baru saja datang.
Orang Baru memberikan penjelasannya. "Saya dari tadi cuma lihat-lihat buku, baru sampai sini langsung lihat papan peta untuk nyari buku."
Orang Baru menunjuk ke arah Pak Charlie. "Sama Bapak yang ini... eh, Dicky. Nama saya Dicky."
Nabil langsung mempertanyakan Dicky yang mencurigakan. "Yang bener nih, gerak-gerik lu aneh!"
Dicky mencoba membela diri. "Ya kan saya baru kesini, orang lagi nyari buku."
Pak Rahman tak bisa menahan kecurigaannya. "Iya, lu dari pertama masuk udah clingak clinguk, tengok kanan kiri, mencurigakan!"
Dicky atau Orang Baru mencoba menjelaskan. "Pak, kan saya--"
Pak Charlie, sebagai orang yang lebih bijak, mencoba menenangkan semua orang. "Sudah, sudah... Semuanya tenang dulu. Daripada kita terus berdebat seperti ini, lebih baik kita langsung menghubungi pihak yang berwenang untuk penyelidikan lebih lanjut."
Damar mencoba memberikan masukan. "Tapi Pak, kalau misalnya--"
Namun Pak Charlie memotong pembicaraannya. "Ini bukan ranah kita untuk memutuskan, kan? Bu Sri, hubungi polisi pakai telepon perpus."
Bu Sri mengangguk dan segera menuju mejanya untuk menelepon polisi.
Nabil berbisik kepada Damar. "Ga sia-sia kan gua baca-baca buku perdetektifan, mungkin bisa kepake sekarang."
"Bisa-bisanya lu ngomong begitu, ini sahabat kita baru saja dibunuh!" Damar merespons dengan nada kesal.
"Nah, iya makanya gue bisa nemuin pelakunya yang barusan ngebunuh sahabat kita," yakin Nabil dengan pernyataannya.
***
Di jalanan menuju perpustakaan, beberapa mobil polisi dan sepeda motor dengan suara sirine yang kencang tiba di depan perpustakaan. Kerumunan mahasiswa dan warga penasaran mengikuti polisi. Ketika polisi tiba di depan perpustakaan, mereka meminta kerumunan untuk tidak masuk. Para polisi segera memasang garis polisi.
"Pak, ada apa ini?" tanya salah satu mahasiswa.
"Ada pembunuhan misterius," kata salah satu polisi.
"Hah, siapa yang dibunuh? Teman saya, bukan?!" ucap mahasiswa lain.
"Kita akan melakukan penyelidikan," tegas polisi.
Situasi di depan perpustakaan semakin kacau, polisi berusaha menenangkan kerumunan.
***
Jam dinding perpustakaan menunjukkan pukul 09:30.
Para polisi memasuki perpustakaan dan melakukan penggeledahan, memeriksa semua orang, pakaian, dan barang-barang dalam tas mereka. Namun, tidak ditemukan senjata berbahaya atau barang terlarang lainnya. Polisi menyisir setiap sudut ruangan dengan menjaga kewaspadaan mereka.
Setiap polisi melakukan interogasi terhadap setiap orang, meminta penjelasan tentang saat pembunuhan terjadi.
"Saya habis dari toilet, Pak. Pas saya balik ke sini lagi, dia sudah dalam kondisi seperti ini," ucap Damar kepada polisi.
Polisi mencatat keterangan Damar. "Baik."
Nabil memberikan penjelasan pada polisi. "Saya tadi di depan meja administrasi dengan Bu Sri untuk mengembalikan buku. Pas udah selesai, tiba-tiba saja sahabat saya kondisinya seperti itu, Pak."
Polisi mengangguk, mencatat keterangan Nabil. "Baik. Huft... Pembunuh macam apa ini, membunuh di dalam perpustakaan, sudah begitu tidak ada jejak pula."
"Panggil detektif saja, Pak!" saran Nabil kepada polisi.
Polisi berjalan ke tengah perpustakaan, menegaskan kepada semua orang. "Sudah kita hubungi detektif, sekitar 30 menit lagi dia akan sampai. Kalian tidak diperkenankan keluar masuk tempat ini!"
Damar melihat sekeliling perpustakaan dengan polisi yang sedang melakukan interogasi pada semua orang dan mengambil foto dengan kamera mereka. Damar perlahan berjalan ke arah jendela depan dan melihat keadaan luar yang ramai dan agak kacau. Di antara kerumunan, ada Tya, seorang perempuan berusia 21 tahun yang baru saja tiba dan terlihat cemas serta khawatir.
Damar mencoba melambaikan tangan melalui jendela, tetapi Tya tidak meresponsnya karena terlalu ramai. Tya berdesak-desakan di antara kerumunan yang sangat ramai.
"Tya! Tya! Aku gak apa-apa. Tya!" teriak Damar. Damar tergesa-gesa, ingin sekali keluar, tapi apa daya, mereka semua tertahan di dalam harta karun ilmu pengetahuan ini. Tubuhnya mulai berkeringat, terasa gatal di kulit kepala. Ia menggaruk-garuk kepalanya dengan penuh amarah. Semakin tak terkendali, tangan Damar gemetar tak bisa dihentikan, layaknya sebuah gempa berkekuatan besar. Nafasnya mulai terengah-engah, Damar pasrah, tak ada harapan. Bagaimana caranya ia selamat dari tuduhan pembunuhan ini. Atau, cara untuk menemukan dalang di balik semua ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembunuhan 3 Menit
Mystery / Thriller".... Saya yakin pembunuhnya adalah orang yang sangat jenius dan kuat, sehingga bisa mengeksekusi pembunuhan seperti ini ...," tegas Detektif Arya. Tempat terhening, perpustakaan menjadi kasus pembunuhan paling misterius dan sulit sepanjang karir De...