Sinar matahari yang cerah menerangi auditorium kampus pada siang hari, menciptakan atmosfer yang penuh harapan. Panggung utama menjadi saksi bisu atas keberhasilan Sinta. Di atas podium peringkat pertama, dia berdiri dengan tegap, menggenggam erat piala dan medali yang menjadi bukti kehebatannya. Dua orang pesaingnya berdiri di sampingnya, menerima penghargaan atas peringkat kedua dan ketiga.
Suara penuh semangat pembawa acara bergema melalui ruang auditorium, membangkitkan kegembiraan yang terasa begitu membara.
"Dan selamat kepada Juara 1 Olimpiade Matematika Tingkat Jabodetabek, Sinta Nur Aulia!"
Sorakan riuh dan tepuk tangan meriah mengalun seiringan dengan kebahagiaan yang memenuhi hati Sinta. Dia merasakan euforia kemenangan yang tak terlukiskan, menyadari bahwa semua kerja kerasnya telah membuahkan hasil yang manis.
Waktu berlalu...
Audiens mulai meninggalkan auditorium, tersisa hanya langkah-langkah cepat yang memecah keheningan ruangan. Sinta membuka sebuah amplop berwarna cokelat yang baru saja diterimanya. Dalam hatinya, ada harapan untuk menemukan sebuah hadiah yang setimpal dengan prestasinya. Namun, ketika dia menghitung jumlah uang di dalam amplop itu, kekecewaan merebak di wajahnya.
Segera, Sinta menyusul seseorang yang hendak keluar ruangan. Dia memanggil dengan suara terbata-bata, berusaha mengejar mereka.
"Pak, pak!"
Orang yang dia kejar adalah Ayah Seno, seorang pria dengan wajah tegas, yang ditemani oleh istrinya. Keduanya terhenti, memalingkan tubuh mereka untuk mendengarkan Sinta.
"Iya, ada apa?" tanya Ayah Seno kepada Sinta.
Sinta menghela nafas sejenak, berusaha mengatur kalimatnya dengan hati-hati, "Mmm... Mohon maaf Pak sebelumnya. Di ketentuan hadiah olimpiade, tertera bahwa juara pertama berhak menerima hadiah sebesar 15 juta. Tapi, kenapa yang saya terima hanya 2,5 juta?" Sinta menunjukkan amplopnya.
Ayah Seno merespons dengan menggenggam bahu Sinta, mencoba menenangkan gadis itu, "Nak, jumlah tersebut belum termasuk potongan biaya lainnya. Ada pajak, transportasi, fasilitas yang kamu nikmati, dan berbagai pengeluaran lainnya."
Sinta merasa kebingungan, berusaha mencerna penjelasan Ayah Seno, "Tapi pak, potongan-potongan tersebut seharusnya tidak sebesar itu--"
Ayah Seno memotong kata-kata Sinta, "Sudahlah Nak, yang terpenting adalah negeri ini bangga dengan pencapaianmu. Persiapkan dirimu untuk tingkat nasional yang akan datang."
"Tapi pak, saya tidak pernah mendapat pemberitahuan bahwa akan ada fasilitas--"
Ibu Seno langsung menyahut kepada suaminya, "Ayo, Pah. Cepetan. Ngapain ngurusin beginian sih?"
Ayah Seno menatap Sinta, "Maaf ya, Saya memiliki urusan lain yang harus segera diselesaikan."
Ayah dan Ibu Seno melangkah menjauh, meninggalkan Sinta dengan perasaan geram yang memuncak. Tanpa sadar, tangannya menggenggam erat amplop itu, seakan ingin mengungkapkan semua kekecewaannya yang terpendam.
***
Restoran cepat saji yang ramai di malam hari, serta antrian pesanan yang panjang membuat suasana semakin sibuk. Rio, Si Gamer, seorang pemuda dengan perut yang semakin lapar, berdiri di barisan belakang, sesekali melirik ke depan dengan harapan mendekati giliran pemesanan.
Waktu berlalu...
Rio telah berpindah ke barisan tengah, perutnya semakin terasa lapar. Dia meremas-remas perutnya dengan sedikit ketidaknyamanan.
Beberapa saat kemudian...
Rio sudah berada di barisan depan antrian, dia merasakan kegembiraan yang tak terbendung. Semua langkahnya seolah-olah membawanya lebih dekat dengan makanan yang dinanti-nantikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembunuhan 3 Menit
Gizem / Gerilim".... Saya yakin pembunuhnya adalah orang yang sangat jenius dan kuat, sehingga bisa mengeksekusi pembunuhan seperti ini ...," tegas Detektif Arya. Tempat terhening, perpustakaan menjadi kasus pembunuhan paling misterius dan sulit sepanjang karir De...