Di ruang dekat pojok perpustakaan pada suatu pagi yang masih dalam ingatan, David dan Adel duduk berdampingan, tengah terikat dalam ikatan asmara mereka. Damar, Nabil, dan Seno duduk di belakang mereka, melakukan kebiasaannya. Suasana perpustakaan masih sepi.
"...ih kapan?" tanya Adel.
David dengan penuh pertimbangan menjawab sambil tersenyum, "Nanti dong... pas aku udah lulus, punya banyak uang, ya."
Adel ikut tersenyum, menyambut jawaban tersebut, "Hehe... Iya deh... Tapi masih lama."
David melanjutkannya, "Lah bagus dong, jadi kita lebih bebas berlama-lama kan."
Adel tergugah akan argumen David, "Eh, iya deng. Hehe..."
Tiba-tiba, suara Bu Sri terdengar dari kejauhan, "Nabil! Bukumu yang kemarin belum dikembalikan ya!"
Adel memberikan tatapan pada David, mengisyaratkan bahwa ia harus pergi sejenak. "Beb, aku ke belakang dulu ya, hari pertama ini."
David mengangguk mengerti, "Yaudah, sana."
Adel berjalan cepat meninggalkan David menuju toilet. Sementara itu, David memainkan ponselnya dengan serius, tenggelam dalam dunianya sendiri.
David menikmati suasana yang hening dalam beberapa saat...
Tiba-tiba, terdengar suara teriakan yang berasal dari belakang David.
"Heiii...!"
David terkejut dan langsung berdiri. Ia melihat dengan ngeri jasad Seno yang tengah duduk berlumuran darah di kepalanya di atas meja. Tanpa ragu, David segera mendekati Adel yang baru saja keluar dari toilet, memeluknya dengan penuh kekhawatiran.
"Dia kenapa?!" Adel bertanya dengan panik.
David tidak mampu menjawab, matanya terpaku pada kejadian tragis di hadapannya.
David memeluk Adel semakin erat. "Aku... aku gak tahu. Ini... ini ngeri..."
Mereka berdua saling berpegangan, tak mampu memahami apa yang baru saja mereka saksikan.
***
Suasana ruang tengah perpustakaan pada sore hari dipenuhi dengan ketegangan. Damar melemparkan pertanyaan yang membuat suasana semakin tegang.
"Masa main hp doang?! Gak mungkin!"
Nabil dengan diam-diam mengingatkan Damar untuk tidak menuduh sembarangan.
"Gak usah nuduh! Udah diem aja!" isyarat Nabil kepada Damar.
Sinta dengan tegas menyatakan dugaannya, "Pasti ngelakuin sesuatu!"
Rio juga ikut mengeluarkan dugaannya dengan nada sinis, "Paling habis bunuh baru duduk lagi terus main hp kan!"
Pak Rahman menyampaikan dugaannya dengan emosi yang tak terkendali, "Yang satu ngebunuh yang satu bersihin barang bukti ke toilet!"
Sinta mendekati Adel dengan iseng, memegang kepalanya untuk menunjukkan wajahnya. "Hei..."
Adel menepis tangan Sinta, melepaskan pelukan dan mulai berbicara dengan suara yang pecah karena tangisnya. "Apa?! Apa?! Mau apa kalian?! Aku gak mau ngomong, karena emang gak tahu apa-apa! Dan ga mau ngurusin! Bukan berarti pembunuhnya atau bantu ngebunuh. Jangan cuman karena kita gak tahu apa-apa, atau kita diem, kalian nyalahin dan perlakukan seenaknya! Kalian nuduh seenaknya, gak ada bukti. Coba kalian tadi yang nuduh mana, mana! Coba bisa ga buktiin kalo emang kita ini pembunuhnya!?"
Sejenak suasana hening seketika, tidak ada yang mau berbicara lagi.
"Nah, diem, gak bisa kan!" Adel melanjutkan amarahnya.
David mencoba menenangkan Adel dengan penuh perhatian. "Udah, udah... Tenang... Gapapa kok..."
Suasana seketika hening kembali.
Dicky, dengan gerakan tubuh yang indah, memberikan monolog dalam keheningan, seolah-olah dia berpuisi dalam pikirannya sendiri.
Detektif Arya menunjuk Rio, "Baik, sekarang saya ingin tahu penjelasan dari Anda."
Rio memberikan penjelasannya. "Saat itu saya sedang asyik main game seperti biasa di laptop, pake headset jadi tidak bisa dengar apa-apa di luar. Setelah semakin lama semakin seru, saya merasa ada yang aneh di sekitaran sini. Tapi, saya acuh dan terus melanjutkan game. Tapi, akhirnya setelah beberapa kali tidak fokus karena merasa ada yang aneh, akhirnya saya lepas headset. Terus... saya lihat ke pojok perpustakaan..." Rio menaikkan kedua bahunya.
Damar tiba-tiba melontarkan kekesalannya, "Lu ngapain main game di sinihah?! Pasti ngebunuh sahabat gua udah direncanain kan?"
Nabil menundukkan dan menggelengkan kepalanya, merasa kesal dengan tingkah Damar.
Rio membalas, "Lah emang gua gak boleh main game di sini? Gua gak punya urusan sama mayat itu."
Damar menunjuk ke bercak merah di laptop Rio. "Nah, terus itu ada bercak merah di laptop lu. Apa tuh? Darah kan!?"
Semua orang terkejut dan tercengang.
"Hah?! Darah?!" Bu Sri menghela dengan nafas berat dan memegang dadanya.
"What the hell?!" kata Sinta.
"Aih bisa-bisanya nyembunyiin darah di laptop," kata Pak Rahman sambil menyipitkan kedua matanya.
Rio dengan emosi membalas, "Darah apaan? Itu cuma bercak biasa, karena gua kalo lagi kesel main game suka mukul-mukulin barang."
"Untuk masalah bercak di laptop, saya sudah periksa. Aman-aman saja, hanya bercak biasa, bekas pukulan atau bantingan." Detektif Arya menjelaskan dengan bijak.
"Tapi Pak, kan bisa saja di bagian lain, bercaknya kan tidak hanya satu." Damar coba mengkonfirmasi pernyataan Detektif Arya.
"Baik tim, bisa diperiksa sekali lagi laptopnya, dengan teliti, terutama bagian bercak berwarna merah itu," suruh Detektif Arya kepada tim kepolisian.
"Siap, Pak!" jawab Asisten Detektif.
Tim kepolisian dan tim forensik segera memeriksa laptop Rio.
"Habis ini diem, oke. Gak usah aneh-aneh." Nabil mengatakannya tanpa suara kepada Damar dari arah bersebrangan.
Damar menjawabnya tanpa suara, "Lah kan lu yang bilang, kita harus cari kebenaran. Ini soal sahabat kita."
Nabil membalas, "Tapi gak gitu caranya. Lu jangan emosi, nyalahin, dan nuduh seenaknya."
"Terus harus gimana caranya?" tanya Damar tanpa suara.
"Udah diem aja. Sampe dikasih kesempatan ngomong baru," tegas Nabil.
Setelah beberapa saat melakukan penyelidikan ulang, suara polisi dari arah meja Rio terdengar, "Aman! Laptop aman. Hanya bercak biasa."
Rio berkata, "Tuh kan udah saya bilang, Pak."
Detektif Arya memberikan pertanyaan kepada Rio"Baiklah, soal bercak merah di laptop memang tidak ada masalah. Bagaimana dengan nama yang tertulis di sana? Ada tertulis 'RioTheKiller', yang berarti 'Rio Sang Pembunuh'. Mungkin ini sedikit aneh."
"Nah, lu ngaku pembunuh tuh!" ucap Pak Rahman.
Rio menjawab dengan tenang, "Itu kan hanya nickname di dalam game saja, Pak. Biar keren namanya."
Detektif Arya melanjutkan pertanyaan ke suspect berikutnya. "Baik, bagi saya sudah cukup untuk mendapatkan klarifikasi dari Anda, Rio. Mungkin sekarang ke... Anda." Detektif Arya memandang Sinta.
Sinta menatap semua orang satu per satu, sambil memainkan rambutnya dan mencabut permen lolipop dari mulutnya dengan air liur yang menjumbai keluar. Sontak semua laki-laki yang berada di dalam perpustakaan terpesona dengan Sinta, mereka tak sanggup mengungkapkannya sepatah kata pun. Sinta melihat kursi yang ia duduki saat pagi tadi, yaitu nomor J-1. Sinta menatapnya beberapa saat, lalu menghela nafasnya.
"Sinta... Sinta..." panggil Detektif Arya.
Sinta terkaget, menatap Detektif Arya, "Oh, iya. Kenapa detektif?"
Detektif Arya bertanya, "Silakan jelaskan kronologinya, kepada semuanya. Tadi pagi saat pembunuhan terjadi."
Nabil menatap tajam ke arah mata Sinta...
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembunuhan 3 Menit
Mistério / Suspense".... Saya yakin pembunuhnya adalah orang yang sangat jenius dan kuat, sehingga bisa mengeksekusi pembunuhan seperti ini ...," tegas Detektif Arya. Tempat terhening, perpustakaan menjadi kasus pembunuhan paling misterius dan sulit sepanjang karir De...