Hari itu, di ruang tengah perpustakaan, aku duduk dengan keadaan tegang dan curiga. Di hadapanku, Sinta, dengan kacamata di atas kepalanya, duduk dengan permen lolipop yang terus-terusan ia hisap.
Sinta menatapku tajam sambil berkata, "...Bukan gua udah dibilangin."
Aku merespons dengan tegas, "Lu gak baca buku doang, kan?! Lu bunuh sahabat gua abis itu duduk lagi pura-pura baca buku kan?!"
Sinta membalas dengan tawa sinis, "Buktinya apa kalo emang gua pembunuhnya?"
Aku memperkuat argumen, "Lu udah ngerencanain semua ini kan?! Lu udah ngitung semua kemungkinan yang ada, dari mulai masuk, lu ngebunuh, abis itu pura-pura duduk lagi baca buku, itu semua udah diperhitungkan kan?"
Sinta menatapku dengan tajam, "Sekali lagi, ada gak buktinya?"
Aku tak berpikir panjang, "Ya, udah lu buang barang buktinya, dibakar, atau cara lain. Alat buat ngebunuhnya bisa lu sembunyiin di dalem buku atau di..." Aku memelankan suaraku, "Dalem baju lu..."
Sinta mengeluarkan lolipop dari mulutnya, memperlihatkan tetes air liur yang terjatuh. Dengan menggoda, Sinta berkata, "Terus? Lu mau periksa?"
Aku menelan ludahku dan mengangguk, "Ehh—Oke..!!"
Aku memeriksa buku-buku Sinta satu per satu. Setiap halaman kubuka, setiap buku kugerakkan, mencari tanda-tanda kejahatan. Di antara buku-buku itu, aku menemukan beberapa hal.
Pertama, ada sebuah kertas pembatas buku. Kedua, sebuah foto Sinta yang sedang memegang piala juara olimpiade matematika, lengkap dengan medali yang tergantung di dadanya. Ketiga, foto Sinta dan teman-temannya sedang merayakan pesta Halloween dengan kostum menyeramkan, memegang berbagai senjata seperti pisau, kapak, dan gergaji mesin. Dan pada buku terakhir yang kuperiksa, di halaman terakhir, aku menemukan sesuatu yang menarik perhatianku.
Itu adalah sebuah slot yang mirip dengan dompet. Di dalamnya terdapat uang, kartu identitas, kartu ATM, surat-surat, dan berbagai hal lainnya.
Aku bertanya dengan penasaran, "Ini buku apa dompet?"
Sinta menjawab dengan lugas, "Buku pribadi itu, bukan buku perpus. Jaga-jaga aja, soalnya kalo ada kriminal dateng, jambret, pasti yang dirampas dompet sama tas, buku hampir gak mungkin."
Aku memeriksa semua isinya, namun ada satu kartu ATM yang tampak aneh dan berbeda dari yang lainnya. Tanpa berpikir panjang, aku merapikan kembali semua barang-barang Sinta dan menutup bukunya, kecuali kartu ATM tersebut. Aku menyimpannya dengan hati-hati dan menyembunyikannya dalam saku bajuku.
Sejenak, suasana menjadi hening.
Sinta memasang kembali kacamatanya dengan santai. Dengan menggoda, ia berkata, "Udah meriksanya?"
Apa maksudnya? Apa yang dia lakukan? Dalam kejadian seperti ini, pantaskah seseorang melakukan hal tidak senonoh seperti ini?!
Aku tersenyum, "Ehh.. udah, udah. Maaf udah ganggu sama bikin bukunya jadi kacau. Hehe."
Sinta melirik tubuhnya sendiri, "Katanya mau periksa..."
Aku harus tahan, air liur dari lolipop saja aku sudah tidak tahan. Ini apalagi...
Aku buru-buru menepisnya, "Ehh, enggak, enggak. Tadi kan pas polisi masuk udah diperiksa kan? So... clear berarti gak apa-apa kayaknya."
Sinta mengangguk, "Ya udah."
Aku memasuki toilet perpustakaan, sambil membawa kartu ATM mencurigakan yang baru saja kudapatkan dari Sinta. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan kartu ini.
Dalam keheningan, aku fokus pada kartu tersebut. Aku melihatnya dengan seksama, memeriksa setiap detailnya. Kemudian, mataku tertuju pada satu bagian kecil dengan pola yang mencurigakan. Aku perlahan-lahan mendorong bagian kecil tersebut--
Tiba-tiba, terlihatlah sesuatu yang tak terduga. Dari tepi kartu ATM, sebatang mata pisau meluncur keluar. Aku terkejut. Kartu ini bukanlah kartu ATM, melainkan sebuah pisau yang tersembunyi.
Aku mengambil selembar kertas dari dalam buku kecilku. Dengan hati-hati, aku mencoba memotongnya menggunakan pisau kartu tersebut. Dan benar saja, pisau itu sangat tajam.
Aku tersadar bahwa apa yang kudapat bukanlah sekadar kartu palsu biasa. Di dalam perpustakaan ini, terselip bahaya yang sebelumnya tak kusangka. Aku harus berhati-hati dan waspada dalam mengungkap misteri yang semakin kompleks ini.
Aku mendekati si pasangan bucin yang duduk di dekat pojok perpustakaan, dengan tekad untuk meyakinkan mereka agar mau berbicara denganku. Perempuan itu terus menerus memeluk pacarnya, ekspresi ketakutan tergambar jelas di wajahnya.
"Ayolah," kataku dengan penuh harap.
Namun, laki-laki itu menolak dengan tegas. "Kami tidak ingin bahas ini!" serunya.
Aku tidak berputus asa. "Ayolah, kita sama-sama cari kebenaran di sini!"
"Tidak, tetap tidak!" jawab laki-laki itu mantap.
Kenyataan bahwa seorang pembunuhan telah terjadi terus bergelayut dalam benakku.
"Seseorang telah kehilangan nyawanya, tapi kalian hanya diam seribu bahasa."
"Terus apa? Hah? Mau apa lagi? Harus apa?" seru laki-laki.
Ya setidaknya bantu jawab pertanyaan-pertanyaan dari gua," pintaku.
Dia ingin tahu apa yang ingin kudiskusikan. "Yang terkait dengan apa?"
Aku memberikan contoh, "Misalnya, menurut kalian, siapa pembunuhnya?"
Namun dia menegaskan, "Kau sadar tidak? Kita ini bukan siapa-siapa, biarlah mereka-mereka yang mengerjakan tugasnya untuk mencari kebenaran yang kau maksud."
Aku mencoba meyakinkannya, "Setidaknya kita bisa berdiskusi, berbagi pikiran. Mungkin tugas mereka, tapi apa salahnya jika kita mencoba membantu atau mencari tahu sendiri? Ya, walaupun kita di mata mereka adalah tersangka, tapi sebenarnya bukan kan."
Mereka terdiam, merenungkan kata-kata yang kuungkapkan. Mereka tampak terpukau oleh pemikiranku.
Aku melanjutkan, "Bagaimana rasanya kalau sahabat, keluarga, atau pacar kau dibunuh seperti ini?"
Perempuan melepaskan pelukannya dari pacarnya, matanya masih basah oleh air mata. Ia menatapku dengan wajah yang penuh emosi, lalu merapikan rambutnya.
"Pasti kau akan membutuhkan bantuan orang lain, bukan?" lanjutku.
Perempuan itu angkat bicara, "Tapi bukan aku kan pembunuhnya. Aku tadi ke toilet, terus gak tahu apa-apa tiba-tiba ada kejadian kayak gini. Kalo kamu beb?"
Laki-laki itu menjawab, "Nah, iya, sama aku juga kan tadi diem aja main hp sambil nungguin kamu dari toilet."
Aku mengangguk, mengerti posisi mereka. "Oke. Aku ngerti. Menurut kalian, dari semua orang yang ada di sini, siapa yang paling mencurigakan?"
Pria itu menolak untuk asal menebak, "Tidak bisa sembarangan mencurigai seseorang."
Si perempuan memberikan pendapatnya, "Iya, aku gak tahu ciri-ciri pembunuh itu kayak gimana. Tapi kalo di cerita-cerita atau film-film itu biasanya tenang, terus pura-pura peduli gitu sama kejadian atau sama korbannya."
Pria itu menambahkan, "Benar. Pintar, dan secara fisik mereka juga tidak terlihat lemah."
Aku memikirkan jawaban mereka dengan seksama. "Jadi... menurut kalian, dari semua orang di sini, menurut kalian?"
Pria itu memberi tanggapan, "Pembaca buku itu."
Si perempuan juga sependapat, "Si bapak-bapak itu yang di atas."
"Huft. Oke. Oke. Terima kasih atas jawabannya. Saya hargai itu," kataku seraya berdiri dan meninggalkan mereka yang masih berpelukan. Dalam hati, aku berharap bahwa langkahku ini akan membawa kami lebih dekat pada kebenaran yang tengah dicari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembunuhan 3 Menit
Mystery / Thriller".... Saya yakin pembunuhnya adalah orang yang sangat jenius dan kuat, sehingga bisa mengeksekusi pembunuhan seperti ini ...," tegas Detektif Arya. Tempat terhening, perpustakaan menjadi kasus pembunuhan paling misterius dan sulit sepanjang karir De...