Senyuman Tipis

86 7 0
                                    

Dalam ruang tamu rumah Tya, pada pagi yang cerah, Tya membuka pintu dari luar. Kejutannya begitu besar ketika ia melihat sosokku duduk di sofa, yang sedang terlibat dalam percakapan dengan Ayahnya, seorang pria berusia 55 tahun yang berdiri dengan bantuan tongkat.

"Siapa lagi sih ini, Pah?!" bentak Tya.

Ayah Tya memarahinya, "Kamu bisa sopan sedikit tidak? Ada tamu sikap sama gaya bicara kamu--"

Tya langsung memotong perkataan Ayahnya, "Tya kan udah bilang berapa kali, Pah? Tya gak mau dijodohin sama siapa pun!"

Aku berdiri dari dudukku, sedangkan Tya menatapku dengan heran.

"Boleh saya memperkenalkan diri?" tawarku.

"Tidak!" jawab Tya tanpa ragu.

"Tya!" Ayah Tya memperingatkannya.

"Nama saya Arya. Saya seorang detektif. Saya datang ke sini bertujuan untuk mem--"

Lagi lagi anak itu memotong pembicaraan, kali ini perkataanku, "Saya tidak mau!" ucap Tya dengan tegas.

Ayah Tya menjelaskan, "Tya, hanya ini satu-satunya cara agar ekonomi kita membaik, biar kamu dan keluarga kita bisa bahagia."

Tya mengeluh, "Tapi gak gini caranya, Pah."

"Kamu sendiri kan gaji pekerjaan kamu sebagai SPG gak seberapa. Kamu nikah dengan Mas Arya ini Papah jamin..." Ayah Tya mengatakannya dengan batuk-batuk.

"Tya gak mau, Pah!" tegas Tya lagi.

Ibu Tya, yang berumur sekitar 55 tahun datang membawa makanan dan cemilan, lalu meletakkannya di atas meja.

Dia mencoba menenangkan situasi, "Ssst... Hei, Tya, tengok Papahmu itu. Sudah sakit-sakitan ingin yang terbaik buat kamu, buat kita semua."

"Kamu ini maunya apa sih, Nak?" tanya Ayah Tya.

Tya menjelaskan, mencoba agar mereka memahaminya, "Tya gak mau dijodohin! Tya gak suka Pah, Mah. Tya cuman cinta sama Damar, pacar Tya. Lagian gimana Tya mau cinta sama orang baru kenal tiba-tiba dateng ke rumah kayak gini."

"Iya makanya itu, cobalah dulu. Siapa tahu--" ucap Ayah Tya sambil batuk-batuk.

Tya dengan tegas membalas, "Tetep gak mau, Pah!"

"Kamu itu ya. Coba sekali aja jangan ngebantah orang tua," kata Ibunya.

Ayah Tya berkata dengan sungguh-sungguh, "Cuman ini satu-satunya cara, Tya. Biar ekonomi kita membaik."

"Pah, Mah, Tya bisa nunggu Damar lulus dapet kerja tersu sukses, terus nikah, terus kita bahagia. Lagian sekarang juga kan hampir semua gaji Tya sisihkan buat biaya pengobatan Papah." Tya dengan heroik menjelaskan semua kalimat itu.

Seketika hening sejenak dan aku tidak tahu harus berbuat atau mengatakan apa.

Ayah Tya memohon kepada Tya, "Cobalah pikir-pikir lagi, Nak."

Tya menahan tangisannya, menatap Ayahnya, Ibunya, dan aku. "Tetap gak mau, Pah."

Tya berjalan cepat meninggalkan rumahnya, sambil merasa kesal dan menggenggam erat kedua tangannya.

"Tya! Tya!" panggil kedua orang tuanya.

"Mohon maaf, Arya," ucapnya sambil menunduk kepadaku.

"Tidak apa-apa, Pak," jawabku dengan santai.

Ibu Tya juga ikut menunduk kepadaku, "Kita jadi tidak enak, Mas. Sekali lagi mohon maaf ya.

Aku memberikan senyuman tipis kepada mereka berdua.

Dari jendela, aku melihat Tya di teras berjalan cepat menjauhi rumah, mungkin merasa kesal, dia menggenggam erat kedua tangannya.

***

Hujan rintik-rintik turun membasahi lingkungan tempat pemakaman. Orang-orang berkumpul dengan pakaian hitam dan memegang payung untuk melindungi diri mereka dari air hujan. Atmosfer sedih dan muram menyelimuti suasana.

Dari kejauhan, di antara pepohonan aku berdiri dengan memakai topi, memperhatikan acara pemakaman dengan penuh perhatian. Aku hanya penonton.

Acara pemakaman berlangsung dengan khidmat. Peti jenazah yang mewah diangkat dan perlahan-lahan dimasukkan ke dalam liang kubur. Tangisan pecah dari keluarga yang meratapi kehilangan mereka. Damar, Nabil, Tya, serta beberapa teman dekat Seno ikut merasakan duka yang mendalam.

Pendeta yang hadir memberikan penghormatan terakhir dengan mengucapkan doa untuk jenazah. Suasana sejenak terhenti, dipenuhi oleh keheningan dan kesedihan yang mendalam.

Dalam kejauhan, aku terus mengamati acara pemakaman ini. Topi yang kukenakan turut melindungi wajahku dari hujan yang semakin deras. Pikiranku melayang ke kasus-kasus sebelumnya, mengingat semua tantangan yang telah aku hadapi sebagai seorang detektif, maupun sebaliknya.

Dalam kesendirianku, aku memperhatikan setiap gerakan, setiap ekspresi, dan setiap percikan emosi yang terlihat di wajah para hadirin. Meskipun aku tidak terlibat secara langsung dalam peristiwa ini, rasa empati tidak memenuhi hatiku, karena aku sudah tahu kebusukannya, terutama ayahnya.

Hujan semakin deras, namun aku tetap bertahan di tempatku. Membiarkan pikiranku melayang ke masa lalu dan merenung tentang perjalanan hidupku sebagai seorang detektif. Acara pemakaman terus berlanjut, dan aku memilih untuk tetap mengamati dengan hati yang tertutup.

Pada akhirnya, aku menyadari betapa rapuhnya kehidupan dan betapa pentingnya menghargai setiap momen yang kita miliki. Seperti air hujan yang terus turun, kesedihan dan duka akan selalu ada dalam kehidupan. Namun, kita harus tetap berdiri tegar dan mencari kebenaran di tengah kegelapan, walau pun kegelapan itu sendiri berasal dari diri kita sendiri.

Aku mengambil napas dalam-dalam, menyesap atmosfer yang mengelilingiku. Sambil masih terus memperhatikan pemakaman yang sedang berlangsung, aku bersumpah untuk tetap setia pada tugasku sebagai seorang detektif, siap untuk menemukan kebenaran yang tersembunyi dan membawa keadilan bagi mereka yang membutuhkannya.

Kejadian ini hanya untuk menyelamatkan karirku saja.

Hujan tetap turun, mengiringi pemakaman yang sedang berlangsung. Aku tetap berdiri di tempatku, dalam diam dan konsentrasi yang penuh.

***

Hujan semakin deras saat aku menyetir mobilku dengan hati-hati melalui jalan yang sempit. Tetes-tetes air hujan menghantam kaca mobil, menciptakan suara yang monoton di sekelilingku. Aku ini detektif, dan saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat yang belum aku ketahui.

Tiba-tiba, aku harus menginjak rem dengan kencang karena melihat tiga sosok yang berdiri di tengah jalan. Mereka mengenakan pakaian hitam dan membawa payung untuk melindungi diri dari hujan yang deras. Pandanganku terfokus pada mereka, dan raut wajahku mengernyit heran. Apa yang mereka lakukan di sini?

Aku membunyikan klakson mobilku beberapa kali dengan frustasi. Kenapa mereka menghalangi jalanku? Tanpa ragu, aku membuka pintu mobil dan berjalan mendekati mereka dengan langkah tegas.

"Halo?! Kalian tahu kalian menghalangi jalan saya?"

Tiga orang itu tetap diam, tapi pandangan mereka mulai menatapku. Aku merasa semakin kesal dengan ketidaktertarikan mereka pada situasi ini, jadi aku mendekat dan mengulangi perkataanku dengan nada yang lebih tegas.

"Kalian dengar?!"

Meraka mengangkat wajahnya dengan perlahan di balik tetesan hujan deras, mereka bertiga adalah Damar, Nabil, dan Tya, menunjukkan wajah mereka yang sudahku kenal. Senyuman tipis terbentuk di bibir mereka, membuatku semakin bingung dengan situasi ini. Kenapa mereka ada di sini?

Mereka tetap diam, tapi wajah-wajah mereka mengandung cerita yang tak terucapkan. Aku melihat ke dalam mata mereka, mencoba mencari jawaban dalam ekspresi mereka yang penuh teka-teki.

Pembunuhan 3 MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang