Meratapi Jasad

143 10 0
                                    

Damar, seorang anak yang berusia delapan tahun saat itu, mengenakan seragam sekolahnya yang rapi. Dia sangat semangat saat membuka pintu rumah, berharap untuk melihat kedua orang tuanya dengan senyum lebar menyambutnya. Namun, alih-alih kehangatan dan keceriaan, Damar terkejut saat melihat pintu kamar orang tuanya yang sedikit terbuka.

Seperti kilat, rasa takut menyelubungi hati Damar. Langkahnya terhenti, dan dengan cepat dia menyadari bahwa ada sesuatu yang sangat salah. Damar menatap ke dalam kamar, melihat kedua orang tuanya tergeletak di atas kasur, tubuh mereka bersimbah darah. Luka yang menganga memenuhi ruangan, menciptakan pemandangan yang menakutkan.

Air mata Damar mengalir deras saat dia merasakan kehancuran yang melanda dirinya. Dia berteriak histeris, suaranya pecah dan mencapai level yang tak terduga.

"Ayah... Ibu..."

Dalam upaya untuk menghilangkan bayangan yang menghantuinya, Damar langsung berlari menuju kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin. Nafasnya terengah-engah, dan dia merasakan detak jantungnya yang berpacu kencang di dadanya.

"Ini cuma mimpi, ini cuma mimpi, ini cuma mimpi!"

Namun, kenangan yang memilukan terus menyiksa pikiran Damar. Dalam keputusasaan, dia menampar-nampar pipinya dengan lembut, mencoba mengusir rasa sakit yang tak kunjung mereda.

Kembali ke ruang yang penuh dengan ketakutan dan keputusasaan, Damar menatap kedua orang tuanya yang tergeletak di kamar mereka. Air mata yang tak terbendung mengalir dari matanya, dan suara tangisnya mencapai puncaknya lagi.

"Aaaaahhhhhh...!!"

Ia tak bisa berbuat apa-apa, apalagi seorang anak kecil berusia 8 tahun.

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Siapa yang melakukan ini pada orang tuanya? Kenapa? Bagaimana rasanya seorang anak kecil ditinggal orang tuanya dengan keadaan tetesan darah liar berada di depan matanya?

***

Di pojok perpustakaan, Damar duduk dengan wajah yang penuh kesedihan, meratapi jasad Seno. Sementara itu, Nabil sibuk menulis, tak henti-hentinya berjalan mondar-mandir. Detektif Arya mendekati mereka.

Detektif Arya menyapa dengan ramah, "Selamat pagi."

Nabil menjawab sapaan tersebut, "Selamat pagi, Pak."

Detektif Arya kemudian menunjuk Nabil dengan dagunya dan bertanya, "Oh, kamu. Yang katanya tadi mengembalikan buku di depan sana ya?"

Nabil mengangguk, "Oh iya, betul Pak. Saya Nabil"

Detektif Arya melanjutkan, kali ini menunjuk Damar, "Lalu, siapa namamu?"

Damar yang masih terlihat dalam keadaan melamun menjawab, "Damar."

Detektif Arya bertanya, "Kalian sedang apa tadi pagi saat pembunuhan terjadi?"

Nabil menjelaskan, "Dia ini sahabat kita, Pak. Kami sering datang ke perpustakaan ini hampir setiap hari. Kami biasanya duduk di sini sambil mengerjakan tugas akhir dan mencari referensi buku dan jurnal. Karena jadwal bertemu dengan dosen kami biasanya siang, sedangkan sahabat kita, Seno, kuliah siang. Jadi, saat kuliahnya pagi, hanya kami berdua yang datang ke sini untuk mengerjakan tugas, dia tidak ikut."

Detektif Arya mencatat informasi tersebut dan bertanya kepada Damar, "Baik, kalau kamu, Damar tadi--"

Damar yang masih terlihat terpaku dengan pikirannya menjawab singkat, "Toilet."

Detektif Arya mencatat jawaban Damar sambil bertanya, "Belakangan ini, apakah ada keanehan pada sahabat kalian? Seperti seperti apa orangnya? Kenapa kejadian seperti ini bisa terjadi?"

Damar menatap Detektif Arya dan menjawab, "Dia orangnya sangat baik, Pak. Humoris. Saya mengenalnya sejak SD, jadi saya tahu persis seperti apa dirinya."

Nabil menambahkan, "Akhir-akhir ini, tidak ada hal-hal yang aneh, Pak. Semuanya berjalan biasa-biasa saja. Tapi hari ini terasa seperti...tidak terduga."

Detektif Arya menyahut, "Seperti yang saya katakan sebelumnya, ini adalah kasus yang rumit, aneh, terjadi di perpustakaan, dan dalam waktu yang singkat."

Nabil mengungkapkan, "Pembunuhnya pasti jenius, bisa lebih dari satu orang."

Detektif Arya mengangguk mengerti, "Hmm."

Nabil berpikir, "Mungkin saja jika pembunuhnya lebih dari satu orang, kemungkinan mereka sudah saling kenal, Pak."

Detektif Arya merespons, "Mungkin. Namun, belum tentu juga. Pembunuhnya mungkin sudah tidak ada di tempat ini."

Nabil menyampaikan pandangannya, "Namun, ini adalah perpustakaan yang masih sepi pada saat baru buka. Hanya ada satu pintu masuk di depan."

Detektif Arya menjelaskan, "Ya, memang begitu. Namun, di belakang juga ada pintu masuk, tapi hanya untuk pegawai perpustakaan, bukan untuk umum."

Nabil melanjutkan, "Kemungkinan jika pembunuhnya lebih dari satu, mereka bisa menggunakan pintu tersebut. Bisa jadi para pegawai atau bisa juga pasangan yang tadi."

Detektif Arya mempertanyakan motifnya, "Tapi, apa motifnya? Kalian adalah sahabatnya, kalian lebih mengenalnya. Apakah ada masalah atau dendam di antara kalian?"

Damar terkejut, "Maksud Anda, kami yang membunuh?"

Detektif Arya menjelaskan, "Ketika terjadi kasus pembunuhan seperti ini, semua orang yang berada di tempat kejadian perkara menjadi terduga. Jadi, semua orang bisa menjadi pelaku."

Nabil bertekad, "Anda harus menginterogasi semua tersangka terlebih dahulu, kumpulkan semua informasinya. Jangan langsung menuduh kami!"

Detektif Arya tersenyum, "Haha. Seperti yang saya katakan, semua orang adalah terduga." Detektif Arya berhenti mencatat dan berkata, "Oh iya, kamu sangat antusias ya."

Damar berkata, "Cita-citanya ingin jadi detektif seperti Bapak."

Nabil memukul kepala Damar dengan buku, "Hish!"

Detektif Arya berbisik, "Jangan menjadi detektif. Bukan pekerjaan yang menyenangkan. Hehehehe." Detektif Arya meninggalkan Damar dan Nabil.

Para olisi dan tim forensik masih sibuk mengawasi jasad Seno. Damar terdiam, tatapannya terpaku pada jasad sahabatnya di depannya, sedangkan Nabil menggandengnya, mencoba memberikan dukungan. Meskipun wajah mereka terlihat basah oleh bekas tangisan, Nabil tetap tegar.

Nabil mencoba menenangkan Damar, "Udahlah, kita harus menerimanya dengan ikhlas..."

Setelah sesaat hening, Nabil melanjutkan, "Lihat, kita tahu orang-orang di sini, kebiasaan di sini, tapi kita belum tahu latar belakangnya kayak gimana. Sehari-harinya ngapain aja."

Damar menatap Nabil dengan rasa penasaran, "Terus?"

Nabil menyarankan, "Iya, kita tanya-tanya sama mereka, siapa tahu nemu clue kan."

Damar menolak dengan malas, "Ya udah lu aja sono, males gua."

Nabil memotivasi Damar, "Lah ayo kenapa?! Ini buat sahabat kita, Seno!"

Damar menjawab dengan nada pesimis, "Iya, terus kalo udah nemu pembunuhnya, Seno bakal hidup lagi gitu? Atau gimana?

Nabil merespons dengan mantap, "Dam! Setidaknya kita berusaha mencari kebenaran. Emang kita gak bakal bikin dia hidup lagi. Tapi seenggaknya ada hukuman yang pantas buat si pelaku. Kita emang bukan siapa-siapa, kita gak berhak nyelidikin kasus ini, bukan ranahnya kita, tapi apa salahnya kita usaha?! Kita lihat penjelasan sama perspektif semua orang yang ada di sini."

Damar hanya diam, tak ada kata-kata yang terucap dari bibirnya.

Nabil menghela nafas, "Yah malah diem."

Nabil berjalan meninggalkan Damar dengan kesal, menuju orang-orang lain yang ada di perpustakaan, siap mencari jejak keadilan. Sedangkan, Damar hanya terus meratapi sahabat tercintanya di depan mata, selagi dipenuhi oleh cahaya-cahaya lensa kamera yang menyinari, suara kertas foto yang dicetak, catatatan-catatatan, serta ocehan-ocehan seisi perpustakaan yang ia tak mengerti.

Pembunuhan 3 MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang