Mataku terlelap... Kemudian mataku terbuka dan terbangun di atas sofa ruang tengah.
Di seberangku, Si Kutu Buku dengan anehnya memiringkan kepalanya, menatap tajam ke arahku, "Bangun!"
Aku memandangi sekeliling perpustakaan dengan tatapan penuh perhatian. Sinar matahari menyinari ruangan, menciptakan bayangan-bayangan menarik di antara rak-rak buku yang menjulang tinggi. Pandanganku tertuju pada jam besar yang terpampang di dinding perpustakaan, menunjukkan pukul 09:30. Tetapi, sepertinya ada yang aneh. Aku melirik pada jam tanganku, menunjukkan pukul 12:25.
Benar kata Nabil, aku perlu tahu pendapat dan perspektif semua orang di sini. Siapa tahu bisa mendapatkan petunjuk.
Pandanganku beralih ke arah Si Kutu Buku, yang sedang duduk di sofa seberang sambil membaca buku. Dia terlihat teralihkan oleh bacaannya yang seru.
Dia melambaikan tangannya ke arahku, "Udah mimpi. Ngelamun. Bengong."
Aku terkaget, "Ehh... Damar."
Aku mengulurkan tangan untuk bersalaman, tetapi Sinta menolak dan melanjutkan membaca bukunya.
"Sinta," kata Si Kutu Buku.
"Ehh—oke Sinta... Kita sama-sama tahu kan kebiasaan kita, kamu sering baca buku, kita bertiga sahabatan, tempatnya selalu di pojok sana."
Sinta tidak terlalu tertarik mendengarkanku dan melanjutkan membaca bukunya.
Aku tetap berusaha agar Sinta bisa berbincang denganku, "Aku bukan pembunuhnya, oke. Karena aku sahabatnya, sahabatan dari kecil, jadi gak mungkin aku tega. Aku sayang banget sama sahabatku itu. Oke? Di sini kan kamu yang paling pinter... Kelihatannya. Jadi menurutmu... Siapa pembunuhnya kirakira?"
Sinta berhenti membaca bukunya dan menatapku dengan tatapan tajam, "Tebakanku, pembunuhnya itu kamu."
Aku mengelak, "Bukan aku lah!"
Sinta, masih asyik dengan bukunya, menoleh ke arahku dengan ekspresi serius, "Kalo bukan kalian, ya kemungkinan lain si dua pasangan itu. Karena yang paling deket, kondisi kayak gini sulit banget kalo misalnya lokasinya jauh-jauh, yang satu eksekusi yang satu ke toilet bersihin barang bukti. Alibinya kan kebanyakan lagi sibuk sama jalan-jalan. Ada yang keluar pintu belakanglah, ada yang ke ataslah, ada yang main game. Macem-macem."
Aku memantapkan dugaan Sinta, "Berarti firasatmu, pembunuhnya aku atau si pasangan itu?"
Sinta menghentikan membaca bukunya dan menatapku dengan serius, "Iya, secara teknis kan aku gak tahu kalian punya masalah apa sama dia. Kalo dalam hitungan matematika yang paling deket yang paling masuk akal."
Aku merasa kesal dengan pernyataan Sinta, aku berdiri dan memutuskan untuk meninggalkan Sinta menuju toilet.
Pertanyaan-pertanyaan masih terus berputar di benakku. Apakah Sinta benar? Apakah aku harus mencurigai pasangan itu? Aku perlu mencari jawabannya sendiri.
***
Di depan cermin toilet, aku berdiri dalam keheningan, merenung dengan rasa panik dan ketakutan yang melanda. Tubuhku gemetar, keringat mengalir di sekujur tubuh, dan wajahku memerah. Aku memvisualisasikan semua orang di sekitarku secara acak membunuh Seno. Gambar-gambar mengerikan itu terpampang jelas di pikiranku.
Dalam keadaan yang kacau, aku meraih keran air dan membasuh wajahku dengan air dingin di wastafel. Tetesan air jatuh di atas kulitku yang memanas, memberikan sedikit kelegaan. Namun, kekhawatiranku tidak berkurang. Aku harus mencari kebenaran dan menemukan cara untuk menenangkan diri.
***
Si dua pasangan itu masih berdiam, duduk berpelukan dengan punggung mereka menghadap ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). Aku mendekati mereka dengan hati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembunuhan 3 Menit
Mystère / Thriller".... Saya yakin pembunuhnya adalah orang yang sangat jenius dan kuat, sehingga bisa mengeksekusi pembunuhan seperti ini ...," tegas Detektif Arya. Tempat terhening, perpustakaan menjadi kasus pembunuhan paling misterius dan sulit sepanjang karir De...