The Detective Wannabe

83 6 0
                                    

"...bener kan. Tanya aja Bu Sri kalo gak percaya," ucap Nabil.

Rio memberikan argumennya, "Ya kan bisa aja kalian kerja sama."

"Mana buktinya?" tegas Nabil.

Sinta ikut beropini, "Ya bisa aja udah kebuang, atau gak ditemuin sama kayak punya buku gue."

Aku mengamati sekeliling perpustakaan, melihat semua orang berdebat. Entah mengapa suara-suara mereka semakin tidak jelas di telingaku. Aku hanya terdiam, menyaksikan semuanya terjadi...

Apakah ini semua benar-benar terjadi? Apakah ini nyata? Siapa di antara mereka yang berbohong? Siapa yang mengatur semua ini? Apakah ini nyata atau hanya sebuah mimpi? Aku tak tahan lagi jika semua orang mengancamku dengan pisau. Aku tak bisa.

Aku mengingat kata-kata Nabil, aku harus tetap tenang, menjawab seadanya, jangan panik, jangan grogi.

Detektif Arya tiba-tiba menatap ke arahku, "Terakhir, Anda."

Aku terkejut dan hanya diam, tak terasa Nabil sudah melewatkan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan orang-orang. Aku hanya menatap ke depan dengan tatapan kosong. Aku melihat semua orang, tubuhku gemetaran, berkeringat, tak tahan juga aku menelan ludah.

Aku menjelaskan kepada mereka, tapi entah mengapa aku sulit mengucapkannya, semuanya terbata-bata. "Ehh-eh-ehh gua-gua. Gua ke toiet setelah tem-temen gua ini ke meja depan. Habis itu keluar toilet, li-lihat temen gua ini keadaannya udah begini..."

Pak Rahman melontarkan pertanyaan, "Ke toilet ngapain?"

"Ngembaliin buku—eh ehh cuci tangan. Cuci tangan, Pak. Eh buang air kecil." Mengapa keadaan semakin sulit, bahkan jawab pertanyaan sederhana pun terbata-bata.

"Sama siapa ke toilet?" tanya Sinta.

"Nabil," jawabku.

Bu Sri menyahut, "Loh, kan Nabil ke meja saya."

"Wah ketahuan nih!" ucap Sinta.

Aku semakin panik. "Ehh, ehh, enggak. Maksudnya Nabil ke meja, saya ke toilet. Begitu."

"Panik dia Pak," kata Sinta kepada Detektif Arya.

"Bohong!" Rio ikut memanasi suasana ini.

"Kalau kau dalangnya, bilang saja. Tidak apa-apa," ucap Pak Charlie.

"Bersihin barang bukti di toilet?" Pak Rahman ikut memanasi suasana juga.

"Biar gak ketahuan?" ejek Sinta kepadaku.

"Udah ngaku aja!" tekan Rio.

Aku semakin panik dan tak terkendali.

Aku memutuskan untuk berteriak kepada Nabil, aku butuh bantuan. "Bil! Tolongin gua, Bil! Gua harus gimana?"

Tiba-tiba semua orang terdiam, melihat Nabil dan aku bergantian.

"Kok lu diem sih?!" emosiku semakin tak terkendali.

"Nah, nah. Nah loh. Sahabatnya sendiri ternyata," ucap Pak Rahman.

Sinta dengan sinis menambahkan, "Ulah mereka berdua, sahabatnya sendiri, kita semua yang dilibatin repot-repot."

"Halah perkara persahabatan toh ujung-ujungnya," kata Rio.

Aku masih mengharapkan jawaban dari Nabil. "Kok masih diem, sih?! Bantuin gua!"

"Dua orang sahabat memang kombinasi terbaik," petik Pak Charlie.

Nabil tidak mau bicara, dia hanya berjalan perlahan mendekatiku, melewati semua orang. Setelah berada di depanku, Nabil menatapku sejenak...

Pembunuhan 3 MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang