Mulai

101 9 0
                                    

"...mengantarkannya untuk mencari buku. Setelah itu saya beres-beres kembali," kata Pak Charlie.

Damar memalingkan pandangannya ke arah Pak Charlie, penasaran dengan apa yang akan dikatakannya lagi, "Tapi, ada yang aneh dari dia?"

Pak Charlie menggaruk kepalanya sejenak, mencoba mengingat kejadian tersebut, "Ya, mungkin karena ini pertama kalinya dia datang ke sini. Dia tampak waspada dan curiga, melirik ke kanan dan kiri."

Mendengar penjelasan Pak Charlie, Damar semakin tertarik dan berusaha memahami situasi tersebut.

"Lalu, menurut Bapak siapa pembunuhnya?" tanya Damar.

Pak Charlie berpikir sejenak, mencoba menghubungkan petunjuk-petunjuk yang ada, "Hmmm... mungkin orang yang paling dekat. Atau mungkin kalau pembunuhnya bukan orang yang ada di sini, dia keluar lewat pintu belakang. Entah bagaimanapun caranya."

Damar mengerutkan keningnya, "Bapak percaya dengan rekan kerja Bapak sepenuhnya?"

"Hmm... Tidak sepenuhnya juga kalau situasi seperti ini. Apalagi kita ini memang tidak terlalu dekat secara personal. Pak Rahman bisa jadi, karena dia yang paling sering keluar masuk untuk membersihkan sampah. Kalau Bu Sri, saya tidak yakin orang berumur seperti dia bisa melakukan hal seperti ini."

Damar merenung sejenak, mempertimbangkan kata-kata Pak Charlie, "Oh, ok Pak."

Pak Charlie menyentuh bahu Damar dengan penuh kepedulian, menunjukkan rasa kekhawatirannya, "Oh, tidak tidak. Ini kan hanya perkiraan saya saja. Bisa benar, bisa juga tidak, ya."

Damar tersenyum, berterima kasih atas perhatian dan nasihat yang diberikan oleh Pak Charlie. Ia merasa semakin bertekad untuk menemukan jawaban di balik misteri pembunuhan yang terjadi di perpustakaan ini.

***

Halaman depan perpustakaan dipenuhi kerumunan yang riuh. Suasana gaduh tersebut membuat Tya cemas, ia mencari-cari keberadaan Damar di antara orang-orang. Seorang Reporter Televisi perempuan berusia 28 tahun tampak berada di lokasi, siap meliput kejadian tersebut. Ibu dan Ayah Seno, dengan air mata mengalir di wajah mereka, mendekati petugas polisi. Orang tua Seno berusaha memasuki perpustakaan, namun dihalangi oleh polisi. Kegaduhan terus berlanjut.

Reporter Televisi menghadap kamera,

PEMBUNUHAN MISTERIUS DI PERPUSTAKAAN

"Pemirsa, telah terjadi pembunuhan misterius di sebuah perpustakaan. Saat ini pembunuhnya belum diketahui, masih dalam proses investigasi dan interogasi detektif dan kepolisian. Terduga merupakan 7 orang mahasiswa dan 3 pegawai perpustakaan. Korban berinisial SM--"

Ibu Seno dengan kesedihan yang mendalam, berusaha menahan tangisnya, "Tolong, Pak! Anak saya! Anak saya!

Polisi mendekat dan berusaha menenangkan Ibu Seno, "Tenanglah, Bu. Tenanglah!"

Ayah Seno datang sambil menangis, mendekati petugas polisi, "Anak kita, Pak! Biarkan kami masuk!"

Namun, polisi lain dengan tegas menghalangi mereka, "Mohon maaf, Bapak dan Ibu. Sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku, hanya pihak yang terkait dengan investigasi yang diizinkan masuk ke Tempat Kejadian Perkara. Jadi, selain yang berkepentingan--"

Ayah Seno semakin marah dan tidak puas, "Apa maksudmu?! Kami ini orang tua mereka! Tidak berkepentingan bagaimana?!"

Polisi #1 mencoba menjelaskan dengan tenang, "Mohon maaf, Bapak dan Ibu. Kami tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan."

Ibu Seno, yang merasa putus asa, memanggil nama Seno dengan keras, "Seno!"

Ayah Seno merasa terusik dan semakin marah, "Minggir! Kamu tidak tahu siapa saya!?"

Orang tua Seno dan beberapa polisi terlibat dalam dorongan-dorongan saling menahan. Sorak-sorai beberapa mahasiswa dari kerumunan terdengar.

"Biarkan mereka masuk, Pak!"

"Mereka adalah orang tuanya, Pak. Bayangkan betapa rasa kehilangan anak kesayangannya!"

"Tidak apa-apa, Pak. Hanya sekedar melihat."

Orang tua Seno bersikeras mendorong polisi. Akhirnya, polisi menyerah dan membiarkan mereka masuk.

INT. PERPUSTAKAAN - SIANG

Orang tua Seno memasuki perpustakaan dengan langkah cepat, menyita perhatian semua orang di sekitarnya. Beberapa polisi segera mendekatinya dan mencoba menenangkannya. Ketika hampir sampai di dekat jasad Seno, mereka menghentikan langkahnya.

Ibu Seno, dengan suara terbata-bata, memanggil-manggil nama Seno, "Seno! Seno! Seno! Anakku..."

Tiba-tiba, Ibu Seno jatuh terkapar tak sadarkan diri. Beberapa polisi segera melangkah ke depan, membantu Ibu Seno, dan membawanya keluar dari perpustakaan. Semua orang masih terpaku, memperhatikan kejadian tersebut.

Ayah Seno merasakan tekanan yang berat dalam keheningan perpustakaan. Dia mengamati setiap sudut ruangan, mencoba mencari petunjuk atau tanda-tanda yang dapat membantu memecahkan misteri ini. Tatapannya akhirnya jatuh pada Sinta.

Sinta merasakan pandangan tajam dari Ayah Seno yang menusuk ke dalam dirinya. Dia merasa tidak nyaman dengan tatapan itu, namun dia tidak dapat menghindarinya. Sinta menatap balik Ayah Seno dengan perasaan cemas dan tak menentu. Setiap gerakan dan ekspresi mereka mengungkapkan ketegangan yang begitu kuat.

Di sisi lain, Rio, memperhatikan Ayah Seno dengan perasaan kesal. Tatapan Rio penuh dengan rasa tidak suka. Dia tidak menyukai Ayah Seno yang tampak seperti ingin mencari-cari kesalahan dalam setiap langkahnya. Namun, Rio menyadari bahwa situasi ini membutuhkan ketenangan dan kerjasama.

Dalam keheningan perpustakaan yang mencekam, tiga individu ini saling berhadapan dengan perasaan yang rumit. Masing-masing memiliki pertanyaan dan kecurigaan tersendiri, tetapi jawaban yang mereka cari masih jauh dari jangkauan. Keberadaan jasad Seno yang terbujur kaku di pojok perpustakaan menjadi saksi bisu dari kejahatan yang terjadi. Setelah suasana tersebut dirasakan, akhirnya Ayah Seno berjalan keluar.

Waktu terus berjalan, menyisakan ketegangan yang semakin menggigit. Mereka terjebak dalam alam pikiran yang tak terpecahkan, menunggu petunjuk atau bukti yang dapat membawa mereka ke arah kebenaran.

Detektif Arya duduk santai di atas sofa, dengan semua foto tersangka tersebar di atas meja di depannya. Sinta duduk di seberangnya, sedang menikmati lolipop, sambil memperhatikan dengan cermat setiap gerakan Detektif Arya.

Di pojok ruangan, Adel tertidur dengan nyaman, kepalanya bersandar di bahu David. David dengan lembut mengelus bahu Adel, matanya terpaku ke depan dengan tatapan kosong.

Rio tengah sibuk mengerjakan tugas di laptopnya, terfokus pada layar di depannya.

Di meja administrasi, Bu Sri duduk dengan ekspresi khawatir yang jelas terlihat di wajahnya. Matanya terarah ke arah jendela, dipenuhi dengan kegelisahan dan kekhawatiran.

Pak Rahman duduk dengan santainya di tangga, mendengarkan musik melalui headphone yang melekat di telinganya.

Nabil duduk di sudut ruangan dengan buku catatan di depannya. Ia tengah memikirkan sesuatu dengan serius. Di tengah-tengah kegiatan mereka, jasad Seno diangkat ke atas tandu darurat dan ditutupi dengan sehelai kain.

LANTAI 2

Pak Charlie merenung di depan rak buku. Ia melihat-lihat buku-buku yang tersusun rapi, kemudian tiba-tiba mengambil satu buku yang menarik perhatiannya, berjudul "Kejahatan yang Disembunyikan oleh Kebaikan".

Dicky terlihat sedang melatih keahliannya dalam puisi, dengan ekspresi dan gerakan yang indah serta penuh dengan kecerdasan emosional.

Damar gelisah, berjalan mondar-mandir di sekitar rak buku, menyentuh tiap susunan buku. Tangan satunya terus menggaruk-garuk kepalanya, menunjukkan rasa ketidaktenangannya yang mendalam.

Ruang perpustakaan dipenuhi dengan suasana kegelisahan yang mencekam. Setiap individu tengah berada dalam dunianya sendiri, mengupayakan mencari jawaban dan petunjuk yang dapat membawa mereka lebih dekat pada kebenaran di balik pembunuhan misterius yang terjadi di perpustakaan ini. Atau, masing-masing dari mereka menyembunyikan sesuatu?

Pembunuhan 3 MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang