Keanehan dan Kejanggalan

100 10 0
                                    

Suasana pagi di kamar kos-kosan tempat tinggalku begitu cerah. Sinar mentari pagi menyusup masuk melalui celah-celah jendela, memberikan sentuhan hangat pada pagi yang masih terasa segar. Di sela-sela gemuruh suara burung bernyanyi di luar sana, aku dan Tya sibuk bersiap-siap untuk memulai hari.

Dalam situasi yang terburu-buru, aku dan Tya bergegas keluar kamar. Namun, tiba-tiba saja, Tya menghentikan langkahnya dan menoleh padaku dengan tatapan tajam, mungkin karena pakaiannya masih basah bekas semalam karena terkena hujan deras.

"Kamu!" teriaknya.

Aku merasa sedikit terkejut dengan sikapnya. Aku berusaha mencari tahu apa yang terjadi, "Lah, kok nyalahin aku? Kamu yang ketiduran di sini."

Tya terlihat kesal dan melanjutkan pengaduannya, "Iya, karena aku dibiarin di sini."

Aku mencoba memahami apa yang ia maksud, tetapi tampaknya Tya tetap pada pendiriannya, "Lah, kamu yang mau."

Rasa kesal dan kebingungan meliputi diriku. Kenapa Tya begitu tiba-tiba menyalahkan diriku? Aku mencoba mengingat-ingat kejadian yang terjadi sebelumnya, mencari petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Namun, di balik seluruh pertanyaan dan kebingungan itu, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mungkin ada lebih dari sekadar perbedaan pandangan antara kami berdua. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi, mengapa perasaan ini begitu rumit dan pahit.

Dalam keheningan kamar kos-kosanku yang terasa begitu menghimpit, aku berjanji pada diriku sendiri untuk menemukan jawaban dan memperbaiki segala ketidaksepahaman ini. Bagaimanapun, percintaan kami sangat berarti bagiku dan aku tidak ingin membiarkan masalah kecil merusak ikatan yang telah terjalin di antara kami.

Aku membuka pintu kamar, mempersilakan pacarku untuk keluar terlebih dulu. Kemudian aku menutup dan menguncinya. Tya terlihat murung, malu, serta menunduk terus menerus, ditambah pakaian yang ia pakai masih terlihat basah dan tidak nyaman.

Lalu kita berdua melewati ruang tengah, aku berjalan lebih dulu. Rasa tidak enak dan resah aku terima dari setiap kamar. Pertama, Dion, si anak basket, tinggi, baru saja selesai dari kamar mandi, tanpa busana, hanya sehelai handuk, melewati kita berdua.

Dion melirikku, kemudian menatap ke arah Tya sambil berjalan memasuki kamarnya, "Wih semaleman enak nih Damar."

Kedua, Anton si wibu, membuka pintu kamarnya, berjalan bersiap untuk kuliah, memperhatikan aku dan Tya. Dia menirukan suara anime perempuan, "Kawaii ne."

Ketiga, Andi, si tukang nongkrong dan begadang, baru saja bangun dari tidurnya di sofa ruang tengah. Dia mengucek-ngucek matanya, lalu melirik aku dan Tya, "Wih Damar puas banget kayaknya, sampe basah-basah begitu. Bagi lah Dam, Dam, Dam!"

Daripada Tya semakin tidak nyaman, aku langsung meraih tangannya, dan mempercepat langkah kita agar menghilang dari pandangan anak-anak nereka itu. Mereka terus mencemoohku, sampai-sampai tidak terdengar jelas apa yang mereka semua katakan di telingaku.

***

Langit pagi yang cerah memancarkan cahaya hangat ditambah angin kencang yang berdesir di teliangku, saat aku dan Tya melaju dengan sepeda motor matic kami. Pakaian Tya masih sama seperti malam sebelumnya di kos-kosan, menjaga jejak petualangan yang masih menyelimuti kami.

"...Gak bisa jawab," kata Tya.

"Loh kok kamu gak bisa jawab?" tanyaku.

"Iya, mau gimana lagi. Ikannya masih mentah, apalagi kalo cuma lewat telepon."

Karena kurang jelas, aku berteriak, "Hah?! Apa yang masih mentah?"

Dia pun ikut berteriak, "Gak bisa dibantah. Masa aku mau dijorokin."

Pembunuhan 3 MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang