Rencana di Masa Depan

95 7 0
                                    

Aku merenung dengan tatapan kosongku, memandangi surat Tya yang telah hancur berkeping-keping di hadapanku. Mendadak, suara langkah kaki menghentak di atas genangan air akibat hujan deras terdengar. Aku menoleh ke arah sumber suara.

Hatiku berdegup kencang saat aku terkejut melihat Detektif Arya mendekat dengan cepat, membawa pisau di tangannya yang terangkat... semakin dekat... semakin mendekat...

Detektif Arya menusukkan pisau itu tepat ke arah tubuhku!

Namun, seketika itu juga, Tya datang dan memelukku erat.

Aku merasa lega, sadar bahwa itu hanya imajinasiku belaka. Tya melepaskan pelukannya. Kulihat dia mengenakan jas hujan berwarna pink yang cantik. Kita saling berpegangan pada bahu, pinggang, dan wajah masing-masing.

"Kamu gak apa-apa kan? Bukan kamu pembunuhnya kan?" tanya Tya kepadaku.

Aku terdiam sejenak, tiba-tiba aku membayangkan menggorok leher Seno dengan pisau, saat aku pergi ke toilet itu sebenarnya tidak, kembali ke arah Seno dan aku menggoroknya. Momen itu sangat mengerikan.

Bukankah PTSD-ku sudah sembuh? Atau hanya...? Tidak mungkin aku membunuh sahabatku sendiri.

"Gak apa-apa cuman abis berantem aja dikit. Kamu...? Katanya dijodohin?"

Dia membalas, "Iya, pas abis nginep di kostan kamu dia dateng ke rumah. Ya aku gak mau dong meski udah dipaksa Papah sama Mamah."

"Terus?" aku penasaran.

"Iya aku coba kabur dari rumah, biar ngerti orang tua aku sama perasaan aku kalo aku gak mau dijodohin," jelasnya.

Aku bertanya karena mengkhawatirkannya, "Terus? Hubungan kamu sama orang tua kamu gimana? Kamu mau tidur di mana kalo kabur?"

"Ya agak renggang. Baru sehari kabur juga udah diminta balik, ya di rumah tidurnya biasa. Tapi jadi jarang ngobrol."

"Terus tahu kejadian ini dari mana?" tanyaku.

"Tadi ada berita heboh, aku langsung ke sini aja. Yang nanganin kasusnya juga yang ke rumahku."

Aku kaget, "Maksudnya?!"

"Detektifnya," kata Tya.

"Detektifnya... pernah ke rumah kamu, yang mau dijodohin itu?!" panikku.

"Iya, walau pun dia hebat udah bisa nangkep pembunuhnya, aku bodo amat gak bakalan terpukau--"

Tanpa banyak menghabiskan waktu, aku langsung memotong pembicaraannya, "Dia pembunuhnya! Dia dalangnya!!

"Masa sih? Gak mungkin lah!" elak Tya.

"Iya, bener, dia nangkep gitu aja gak ada barang bukti, jejak, atau saksi," jelasku kepadanya.

Tya terdiam tak percaya.

"Terus aku harus gimana sekarang?" bingung Tya.

Aku memberikan saran, "Jaga diri kamu sama keluarga kamu baik-baik aja ya. Jangan coba-coba berhubungan lagi sama Detektif itu, ok?"

Tya memelukku erat, dengan napas yang berat. Kami melepaskan pelukan, saling memegangi wajah, leher, pinggang, dan bahu. Kami mencoba mendekat satu sama lain, hampir untuk mencium bibir, bibir kami semakin dekat.

"Hiiirrrrrrr...!" teriak Nabil sambil mendekati kami.

Aku dan Tya terkejut, melepaskan genggaman dan merasa malu serta kesal terhadap Nabil.

"Di kostan bisa kali. Bisa-bisanya abis ada kejadian tragis malah kayak di film-film... Pulang ayo. Kita harus siap-siap buat ngunjungin keluarga Seno."

Nabil merangkulku, berjalan menjauh dari perpustakaan. Kerumunan di depan perpustakaan sudah semakin sepi.

Sejak kejadian ini, kami tidak pernah melangkahkan kaki ke perpustakaan ini lagi...

***

Ruang tamu rumah Tya yang nyaman dihiasi oleh keceriaan di saat rembulan menghiasi langit hitam. Aku, Tya, dan orang tua Tya duduk bersama, terlibat dalam percakapan yang akrab. Tawa riang terdengar sesekali memecah kesunyian.

Sejak aku menyadari bahwa Detektif Arya adalah pembunuh dan mencoba untuk menikahi Tya, hidupku berubah. Aku menjadi lebih bersemangat dalam menyelesaikan skripsi, berdedikasi dalam pekerjaan, dan merencanakan pernikahan dengan Tya. Namun, tidak hanya itu, aku juga merasa memiliki tanggung jawab untuk melindungi keluarganya dari ancaman Detektif Arya, sosok yang jahat dan pernah melangkahkan kakinya di rumah mereka.

Sorotan penuh kasih terjalin di antara aku dan Tya, memperkuat ikatan cinta di antara kami. Orang tua Tya pun terlihat bahagia dengan kehadiranku dan rencana masa depan kami. Ruangan ini dipenuhi oleh kehangatan dan antusiasme, membawa harapan bagi apa yang akan datang.

***

Aku dan Nabil berjalan perlahan melewati halaman depan perpustakaan. Cahaya malam yang redup menyelimuti kami, menciptakan suasana yang misterius. Tiba-tiba, kami berhenti sejenak dan menatap perpustakaan dengan pandangan serius. Bangunan itu seperti menyimpan rahasia yang belum terungkap.

Jika suatu hari kami bertemu kembali dengan Detektif Arya, aku, Nabil, dan Tya akan memastikan bahwa dia tidak bisa lagi merajut benang kejahatannya. Kami siap menghadapinya, siap melawan dengan segala cara yang diperlukan. Tidak ada tempat bagi kejahatan dalam hidup kami. Kami akan menghentikannya, demi melindungi orang-orang yang kami cintai.

Sikap teguh terpancar dari mata kami, memancarkan tekad yang kuat untuk melawan kejahatan. Kami tidak akan membiarkan Detektif Arya berkeliaran bebas dan melukai orang-orang yang kami cintai. Kami tidak akan mundur, tidak akan mengizinkan kejahatan menguasai kehidupan kami. Kami siap untuk menghadapi babak baru yang akan menentukan takdir kami.

Cerita ini belum berakhir. Babak berikutnya akan menjadi panggung pertarungan antara kebaikan dan kejahatan yang akan membentuk jalan kami ke depan.

***

Hujan rintik-rintik turun di hari pemakaman pagi ini. Atmosfer menyedihkan terasa di udara. Orang-orang yang menghadiri pemakaman mengenakan pakaian hitam dan membawa payung sebagai perlindungan dari tetesan air hujan. Terlihat beberapa orang dengan pakaian berstatus seperti jenderal, menteri, polisi, dan tentara juga hadir.

Peti yang megah dan terhormat dengan hati-hati dimasukkan ke dalam liang kubur. Tangisan pecah dari keluarga yang berduka, termasuk aku, Nabil, Tya, dan teman-teman Seno yang hadir untuk memberikan penghormatan terakhir. Kesedihan mewarnai setiap wajah yang ada di sana.

Pendeta yang hadir mengucapkan doa, mengirimkan harapan kepada orang-orang yang ditinggalkan. Suasana sunyi terasa, hanya terhanyut oleh suara gemericik hujan dan suara doa yang penuh dengan rasa harap.

Di bawah hujan, kami semua berdiri dengan hati yang berat. Pemakaman ini adalah momen berat yang mengingatkan kami akan kehilangan yang tak tergantikan. Kami memohon kepada Tuhan untuk memberikan ketenangan dan kekuatan kepada keluarga yang berduka.

***

Pemakaman telah selesai. Hujan semakin deras membasahi jalan. Aku, Nabil, dan Tya melihat mobil sedan berwarna hitam yang sedang berjalan dengan hati-hati melalui jalanan yang sempit. Pemandangan berkabut dan terhempas air hujan mempersulit pandangan.

Kami bertiga memutuskan untuk berdiri di tengah jalan sempit menghadap ke mobil itu, sehingga mobil tersebut mengerem dengan kuat, membuatnya berhenti secara mendadak. Mobil itu membunyikan klakson beberapa kali dengan kesal, lalu pintu mobil terbuka, sosok bertopi hitam turun dan mendekati kami.

"Halo?! Kalian tahu kalian menghalangi jalan saya?!"

Kami tetap diam, mempertahankan posisi. Kejengkelan dia terlihat semakin memuncak dan semakin mendekat ke arah kami dengan langkah tegap.

"Kalian dengar?!"

Perlahan, kami mengangkat kepala dan memperlihatkan wajah kami kepadanya. Aku menatapnya dengan penuh makna, lalu memberikan senyuman tipis.

Pembunuhan 3 MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang