Sudah tujuh hari berlalu. Tujuh hari juga Chika tinggal di vila bersama Zeernan. Chika yang tak ingin menjadi manusia yang numpang hidup di rumah orang dengan tak tau diri. Jadi dirinya setiap hari akan membantu membersihkan rumah juga sesekali memasak untuk Zeernan. Zeernan yang mengetahui hal itu sudah beberapa kali menegur Chika untuk melakukan hal itu, karna di rumah sudah menjadi tugas Bi Emi, tapi Chika tetep kekeh ingin melakukan hal itu jadi Zeernan akhirnya membiarkan saja.
Meski sudah tujuh hari Chika tinggal serumah dengan Zeernan, hubungan ke duanya tak ada perubahan. Setidaknya lebih dekat, tapi hal itu pun tidak. Karena Chika lebih sering mengurung diri di kamar, saat Zeernan berada si rumah maupun tidak. Sesudah dia bersih-bersih atau membantu memasak bu Emi dia pun akan kembali masuk ke dalam kamar, memilih makan sendiri di kamah ketimbang makan bersama Zeernan. Seperti pagi ini contohnya, sesudah selesai membantu memasak Chika langsung kembali ke kamar.
"Chika mana Bi?" Tanya Zeernan yang baru selesai mansi.
"Non Chika sudah kembali ke dalam kamar den," jawab Bi Emi.
"Tapi dia sudah sarapan?" Tanya Zeernan sambil melihat masakan yang tersaji pagi ini.
"Belum den. Katanya belum lapar. Dia tadi hanya bawa teh hangat ke atas."
"Ck, harusnya dia makan," kata Zeernan. Bi Emi tersenyum canggung dan dengan telaten menyiapkan porsi makan untuk Zeernan.
"Makasih Bi. Sudah makan?" Tanya Zeernan. Karena bagaimana pun saat di sini hanya Bi Emi sudah dia anggap orang tua sendiri.
"Belum. Bibi nanti saja, belum lapar."
"Makan jangan ditunda-tunda Bi."
"Iya den."
"Oh iya, tolong siapin makan buat Chika ya. Biar saya nanti yang antar ke atas," pinta Zeernan. Dia tak mau perempuan yang sudah dia tolong ini sakit karna telat makan.
"Siap den."
Sampai saat ini Chika masih menempati kamar Zeernan. Chika pernah membahas hal ini pada Zeernan untuk bertukar kamar karena merasa tak enak, mau bagaimana pun kamar yang dia tempati adalah kamar milik Zeernan. Tak seharusnya dia menempati kamar Zeernan sedangkan sang pemilik kamar malahan di kamar tamu.
Tok tok tok~
"Chika?" Zeernan berdiri di depan pintu kamar menunggu sang empu yang dipanggil membukakan pintu.
Tok tok tok~
"Chik?" Tak mendapat jawaban, akhirnya Zeernan memilih membuka langsung saja pintu itu.
Terlihat di dalam kamar kosong, tak ada keberadaan Chika di sana. Zeernan meletakkan piring dan gelas di atas nakas. Kemudian mencari keberadaan Chika. Sepertinya ada di kamar mandi, karna pintu kamar mandi tertutup rapat.
"Chika?" Panggil Zeernan di depan pintu. Kening Zeernan mengernyit saat mendengar suara orang muntah di dalam sana.
Zeernan menjadi khawatir karna pasti yang ada di dalam kamar mandi adalah Chika. Tanpa pikir panjang dia membuka pintu kamar mandi yang menampakkan Chika bertopang pada wastaffel dan berusaha mengeluarkan isi perutnya.
"Chika, kenapa?" Panik Zeernan.
"Huekk~" Chika hanya menggeleng sebagai jawaban. Zeernan membantu menyatukan rambut Chika ke belakang agar tak mengaganggu. Dia juga memijat tengkuk Chika.
"Huekk!" Zeernan menahan tubuh Chika yang tiba-tiba oleng, kehabisan tenaga.
"Kamu sakit?" Tanya Zeernan lagi, karena wajah Chika yang kini terlihat sangat pucat.
"Pusing~" lirih Chika.
"Masih mual ga?" Tanya Zeernan. Chika menggeleng.
Setelah membersihkan diri, Zeernan membantu Chika untuk keluar dari kamar mandi. Chika kini duduk bersandar di kepala kasur. "Kamu makan dulu deh, saya cariin obat pusing."
"Ga nafsu," jawab Chika pelan.
"Sedikit aja, yang penting perut kamu ada isinya."
"Gamauu," jawab Chika.
"Saya suapin deh." Zeernan mengarahkan sendok yang sudah terisi nasi ke mulut Chika.
"Mual," kata Chika sambil memalingkan wajahnya.
"Sedikit aja." Terdengar seperti gumaman rengekan Chiak seperti tak mau taoi akhirnya mau menerima suapan dari Zeernan.
"Nanti siang kita ke dokter deh, mumpung saya ga ada kerjaan."
"Gausah, saya gapapa. Cuma masuk angin biasa," tolak Chika.
"Ga ada penolakan Chika."
"Tapi saya ga mau. Kepala saya pusing."
"Kalau gitu saya akan panggilkan dokter saja ke sini buat cek keadaan kamu. Saya ga mau kamu kenapa-kenapa."
"Terserah. Udah, saya mual." Chika kembali memalingkan wajahnya menolak suapan dari Zeernan.
"Sedikit lagi."
"Gamau!"
"Oke-oke. Minum dulu, saya ambilkan obat pusing di dapur."
Zeernan pergi membawa piring yang masih tersisa isinya ke dapur. Chika memandang punggung Zeernan sampai menghilang di balik pintu. Tangannya kini mengelus perutnya yang kembali terasa mual. Chika sangat tak nyaman jika harus merasa mual seperti ini. Masuk angin ini sangat menyiksa.
Akhirnya up awokawokawok. Tipis tipis dulu. Kasihan Chika sakit ya ges.
Dah gitu aja maap buat typo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You [END]
Teen FictionBerawal dari menemukan dirinya di antara semak-semak hingga sekarang menjadi bagian dari hidupku