15. Kita temen?

49 2 0
                                    

Happy Reading 🌻

Mata Alysa sejak tadi tidak berhenti melirik pria di sampingnya, terkapar lemah dengan lebam luka di seluruh tubuh, ditambah tangannya yang patah kini. Tidak berbeda dengan Alysa yang kini terkuai lemah di ranjang sebelah.

Pintu ruang inap terbuka, menampilkan Pandu dengan beberapa luka dan lebam di wajahnya. "Lo gak papa Al?" Alysa menggeleng kan kepalanya, walau itu tidak sepenuhnya jujur.

Raut pandu berganti murung, ada sedikit rasa bersalah karena tidak bisa melindungi Alysa. "Sorry ya, gue gak bisa berantem," Justru menurut Alysa dirinya lah yang harus meminta maaf

Melihat beberapa lebam diwajah Pandu membuat Alysa meringis. Itu pertama kali Pandu merasakan hal tersebut."Thanks ya ndu, sorry kalo karena gue lo kaya gini,"

Pandu memutar bola matanya malas. Alysa sudah mengatakan hal itu berkali-kali. "Lo bilang apa sih al? Kita temen, udah sewajarnya saling bantu kan?"

Senyum tipis Alysa mengembang. "Thank you," Pandu mengangguk sebagai jawaban.

"Ni gue bawain bubur buat lo sama temen lo. Yang punya lo karetnya dua, pedes dan tanpa kacang,"

"Ada yang jual bubur jam segini?"

"Ada, di kantin rumah sakit,"

"Iyaa nanti gue makan,"

"Temen lo masih belum sadar?" Alysa menggeleng sebagai jawaban.

Mata Pandu meneliti Alysa dari ujung rambut hingga ke kaki, penuh lebam dan luka, tapi wanita itu masih bisa tersenyum."Sakit ya Al?"

"Lumayan,"

"Jadi yang tadi itu siapa?"

Alysa membiarkan otaknya berfikir beberapa saat, entah dirinya harus menjelaskan atau tidak soal Zidan, disisi lain juga menceritakan soal Zidan akan sedikit rumit, tapi wajah Pandu sudah terlihat, itu artinya pria itu terlibat dengan Zidan mulai detik ini.

Pandu menyerngit, bukan memberi jawaban Alysa justru sejak tadi hanya bengong. "Al, kok bengong? Kalo gak dijawab juga gak papa," pandu tidak ingin memaksa Alysa, lagi pula itu tidak ada hubungan dengannya.

"Masalahnya lumayan rumit, ntar kapan-kapan gua ceritain," Jawab Alysa yang kembali diangguki Pandu sebagai jawaban.

Mata Alysa melirik jam, ini sudah sangat larut tapi Pandu masih setia menemaninya disini. "Lo gak balik Ndu? Udah jam segini?"

Benar juga. Pandu melirik jam yang melingkar di tangannya, waktu sudah larut."Ini gue mau balik, tadi gue beliin lo makan dulu,"

"Kalo gitu gue balik dulu ya, selamat istirahat," Alysa mengangguk mengiyakan.

"Toko tutup dulu, lo istirahat aja,"

Setelah tujuannya selesai, Pandu berjalan ke arah pintu ruang inap. Melangkah meninggalkan ruangan tersebut dan pulang ke rumahnya.

Tangan Alysa mengambil bubur di samping nakas sebelah ranjangnya, menyendokkan bubur ke mulutnya. Jujur saja setelah berperang habis-habisan perutnya kini sangat lapar.

Buburnya habis tidak bersisa, bersamaan dengan itu Rakha perlahan mengerjapkan matanya. Melihat ke sekeliling yang tampak asing. Pria itu tampak kebingungan. Pandangan Rakha jatuh pada tangannya yang kini di gips dan yang satunya di tempeli infus.

Alysa bangkit perlahan dari ranjangnya akibat lebam dan luka di perutnya yang masih sakit, mendorong tiang infusnya mendekat ke ranjanh Rakha. "Kita di rumah sakit," pandangan Rakha teralih ke sumber suara, menemukan Alysa yang kini wajahnya di penuhi plaster dan sedikit pucat.

Alysa (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang