Bab 35 : Apa Kamu Perawan?

744 84 30
                                    

Gala masih duduk dan terlihat bingung, begitu juga dengan Bulan. Keduanya belum mendapatkan solusi untuk memenuhi wasiat Nenek Gayung.

“Kalau kita mau punya anak, sudah jelas kita harus melakukan hubungan suami-istri,” ucap Gala.

Tentu saja ucapan Gala membuat Bulan kaget dan semakin bingung.

Gala menatap Bulan, hingga kemudian bertanya, “Apa kamu masih perawan?”

Bulan semakin kaget dan kedua pipinya langsung merona karena malu mendengar pertanyaan Gala.

“Kalau kamu sudah ga perawan, kita bisa melakukan inseminasi buatan,” ujar Gala kemudian.

“Kamu tenang saja, nanti bayaranmu akan aku tambah. Jadi seperti di novel-novel yang cerita ibu pengganti itu,” imbuh Gala lagi.

Bulan langsung mematung mendengar ucapan Gala, dia sampai menahan napas karena terkejut, hingga akhirnya buka suara.

“Aku masih tingting, janda kembang. Bukannya kamu sudah tahu itu.” Bulan bicara dengan ekspresi wajah kesal karena Gala harus bertanya soal keperawanan.

Gala seketika lemas mendengar kepastian dari Bulan. Biasanya pria akan senang jika mendapatkan gadis yang masih tersegel, tapi Gala malah terlihat kecewa karena terikat dengan isi wasiat dari Nenek Gayung. Gala mengacak-acak rambutnya frustasi, sebelum kemudian mendengkus kasar.

“Aku benar-benar bingung harus bagaimana lagi. Aku yakin kalau pasti Altar yang akan mendapatkan warisan itu.” Gala benar-benar tidak bisa memikirkan cara lain untuk saat ini.

Bulan melihat Gala yang sangat frustasi, dia pun bingung dan merasa bersalah. Hingga tiba-tiba memiliki sebuah ide.

“Bagaimana kalau kita cerai saja, nanti kamu bisa cari janda lagi yang sudah ga perawan, jadi kamu bisa melakukan inseminasi seperti rencanamu,” ujar Bulan yang sebenarnya juga pusing memikirkan syarat dari buyut suaminya.

Gala melotot mendengar ide Bulan, hingga kemudian membentak. “Jangan mengada-ada! Mana bisa asal cerai begitu saja!” tolaknya.

Bulan kaget hingga berjengit, dia juga bingung dan merasa bersalah. Bulan merasa menjadi beban karena berada di sana, diberi makan dan uang, tapi tidak bisa membantu apa-apa.

Di sisi lain. Altar sangat senang karena syarat yang diajukan Nenek Gayung menguntungkan dirinya. Saat sampai di rumah, Altar langsung menarik tangan Tabita masuk ke kamar.

“Sayang, kamu mau apa?” Tabita panik karena tahu apa yang sebenarnya Altar inginkan.

“Apa lagi? Tentu saja buat dedek bayi, ayo!” Altar mendorong tubuh Tabita hingga jatuh terjerembab ke ranjang.

Tabita pun panik, hingga buru-buru menahan tubuh Altar yang berada di atasnya.

“Tunggu-tunggu!” Tabita pun berusaha mencegah. “Ada sesuatu yang ingin aku katakan dulu,” ucapnya kemudian.

Altar keheranan, matanya menyipit menatap Tabita yang menahan dadanya. Pikiran pria itu pun menjadi ke mana-mana karena sikap Istrinya ini. Sebelum menjadi kekasihnya Tabita memang janda tanpa anak, hingga Altar berpikir sangat ekstrim. Mungkinkah Tabita bercerai karena mandul.

“Jangan katakan kalau kamu mandul, apa karena itu sejak tadi kamu hanya diam dan kelihatan pucat,” ucap Altar menebak dengan sembrono.

Tabita kaget mendengar ucapan sang suami, bahkan dia tampak kesal dan tersinggung. Meski begitu Tabita mencoba untuk menahan. Dia meminta Altar menyingkir dari atas tubuhnya, kemudian mengajak suaminya duduk berhadapan.

“Kamu tenang dulu, biar aku jelaskan,” ucap Tabita.

Altar merasa heran dan semakin curiga dengan apa yang hendak dikatakan oleh  istrinya ini.

“Sebenarnya aku terlanjur tanda tangan kontrak kerja lagi, di sana menyebutkan kalau aku tidak boleh hamil selama kontrak itu berlaku. Jadi bukan karena aku mandul seperti apa yang kamu pikirkan,” ucap Tabita bicara dengan sangat hati-hati agar Altar tidak kaget dan marah.

Meski sudah bicara pelan-pelan, tapi nyatanya hal itu tetap membuat Altar terkejut.

“Tidak bisa! Kamu hamil dan melahirkan anakku jauh lebih penting daripada kontrak kerjamu itu, jadi kamu harus membatalkan kontrak  itu!” amuk Altar yang kesal.

“Kamu ini kenapa seolah senang sekali membuat aku harus membayar pinalti kontrakmu terus,” gerutunya kemudian.

“Bukan begitu, Sayang.” Tabita berusaha menjelaskan. Ia menyugar rambutnya frustasi dan sebenarnya ragu mengatakan ini ke sang suami.

“Aku tahu kalau nenek dan mamamu melihat keberadaanku karena aku adalah artis. Kalau aku tidak bekerja dan hanya mengandalkan nafkah darimu, aku pasti akan diremehkan mereka sebagai menantu, dan aku tidak mau seperti itu,” ucap Tabita menjelaskan.

Altar kaget. Ia tak menyangka Tabita akan memiliki pikiran seperti itu.

“Nggak mungkin mama dan nenek berpikir seperti itu,” sanggah Altar tidak terima.

“Ya, tapi kita tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Hanya saja instingku berkata seperti itu dan aku butuh mengantisipasi.”

Altar pun diam mendengar ucapan Tabita, hingga istrinya itu kembali bicara.

“Sayang, kenapa kamu harus mengincar warisan itu? Rasanya aku kesal setiap kali semua orang membahas syarat agar mendapatkan warisan nenek Ayu. Aku juga kasihan ke kamu yang selalu takut kalah bersaing dengan Gala.” Tabita bicara sambil menatap iba ke sang suami.

Altar hanya diam tak menanggapi ucapan Tabita.

“Aku ga mau, jika nanti anak kita dijadikan bahan kompetisi oleh nenek atau buyutnya. Bukankah kamu juga seperti itu, dijadikan ajang kompetisi untuk memperebutkan warisan. Apa itu enak?”

_
_

Komen

Terjerat Cinta Istri BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang