Bab 5 : Angin Rooftop

56 20 65
                                    

Keesokan harinya, tepat di jam istirahat, Kivandra memutuskan untuk pergi ke atas rooftop sendirian.

"Loh, Kak Maisha?"

Mendengar seseorang yang menyebut namanya, Maisha membalikkan badan dan melambaikan tangannya.

"Van! Sini, sini! Angin di sini sejuk, loh!"

Kivandra terdiam sejenak sebelum ia tertawa pelan dengan perlakuan Maisha yang selalu bersemangat itu.

"Iya, Kak."

Pemuda itu berjalan menghampiri Maisha dan berdiri di sampingnya.

"Anginnya sejuk, ya, Kak," ucap Kivandra menatap langit.

"Ish, udah aku bilang. Panggil Masha aja, jangan pakai embel-embel Kakak."

Mendengar itu, Kivandra tersenyum canggung dan menggaruk pipinya yang tidak gatal.

"Ya soalnya ngerasa gak sopan aja gitu, Kak. Secara Kakak itu kakak kelas kita, satu tahun lebih tua."

"Loh? Kita kan udah kenal setahun, udah deket juga. Lagian aku ngerasa canggung kalau kamu terus panggil aku pakai embel-embel itu. Toh, Dara aja gak panggil aku pakai embel-embel kakak, dia biasa aja."

Kivandra terdiam sejenak. Ia memutar otaknya untuk mencari kata-kata yang bisa dimengerti oleh Maisha. Pemuda itu kembali menggaruk pipinya.

"Gue sama Dara beda orang. Tapi Kak_"

"Maisha, atau Masha aja. Aku yang minta loh ini. Kalau panggil pakai embel-embel kakak tuh serasa ada jarak aja gitu dari kalian," sela Maisha. Kali ini gadis itu menatap Kivandra dengan serius.

Melihat tatapan Maisha yang penuh keseriusan, membuat Kivandra terpaku. Pemuda itu belum pernah melihat Maisha memberikan mimik muka serius.

"Em, oke, Masha."

Bibir Maisha melengkung membentuk senyuman. Gadis itu tertawa pelan dan memukul punggung Kivandra.

"Good. Kurangi ekspresi canggung di wajah kamu itu, ya."

Kivandra meringis dan mengelus punggungnya yang terasa sakit.

"Iya, Masha."

Keduanya kembali terdiam menikmati semilir angin sejuk di atas rooftop. Tak ada dari mereka yang mengeluarkan suaranya.

"Menurut kamu, Dara orangnya kayak gimana?" tanya Maisha beralih menatap Kivandra.

Raut wajah Kivandra berubah pesat. Pemuda itu terkejut dengan pertanyaan mendadak yang terlontar dari mulut kakak kelasnya.

"Apa-apaan ekspresi itu?" Maisha menahan tawa melihat ekspresi terkejutnya.

"Habisnya sih. Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?"

Maisha menaruh jari telunjuknya di dagu, memberikan raut wajah seolah ia merasa kebingungan.

"Hm ... Kenapa, ya?" gumam Maisha. Ia menatap mata Kivandra hingga senyuman mengembang di bibirnya. "Karena kalian lumayan deket, satu kelas juga dari kelas 10," lanjutnya.

Mendengar hal itu, Kivandra mengerutkan keningnya, berusaha memberikan penilaiannya terhadap Adhisti.

"Ya, dia orangnya dingin dan berlidah tajam. Terus terang, gue benci kalimat-kalimat sarkas yang dia lontarkan. Dia apatis, gak pernah peduli sama orang lain. Dia mementingkan diri sendiri tanpa mikir apa ucapannya menyinggung orang atau enggak."

"Tapi terlepas dari itu semua, gue ngerasa Dara itu orang yang lembut dan baik hati. Sikapnya berubah-ubah. Jujur, gue masih belum mengenal Dara dengan baik. Dia gadis misterius," jawab Kivandra.

Harapan di Tahun BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang