Bab 17 : Hilang kendali

30 9 10
                                    

Di sebuah kamar bernuansa modern, seorang gadis dengan rambut panjang yang bergelombang sedang belajar. Hanya lampu belajar yang menyala, sementara lampu utama telah ia matikan.

Gerakan tangan saat menulis pun sangat cepat. Napas berderu kencang. Lembayung merasa sangat marah kepada ayahnya setelah mengetahui fakta yang Cakra katakan dari mulutnya sendiri.

"Sialan! Sialan! Sialan! Gimana bisa dia menikahi wanita lain sebelum dia nikahin ibu?! Gue gak sudi punya kakak tiri kayak Adhisti! KENAPA HARUS DIA?!"

Gerakan tangannya semakin tak terkendali. Lembayung mencoret di kertas yang sedang ia kerjakan. Tak peduli akan dimarahi atau tidak. Asalkan ia memiliki sesuatu untuk dijadikan pelampiasan amarahnya.

Kedua tangannya yang bergetar hebat itu pun mengambil sebuah buku paket yang para murid pinjam dari perpustakaan sekolah. Kemudian, ia kembali menulis jawaban untuk menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

Namun, begitulah jika mengerjakan sesuatu dengan amarah yang menguasai. Tulisan jadi terlihat tidak jelas. Lembayung menjambak rambutnya yang terasa sangat pusing.

Kenapa harus Adhisti?!! Kenapa harus dia?! KENAPA?!!! Batin Lembayung penuh amarah.

Tulisan di buku paket mulai tidak bisa Lembayung baca dengan jelas dikarenakan air mata yang sudah menumpuk. Pada akhirnya, tetesan air mata membasahi buku pelajarannya.

"Kenapa Ayah bisa berbuat setega itu sama perempuan lain?! Gue kalau jadi Adhisti juga pasti benci banget sama Ayah!!" Lembayung tak bisa menerima fakta yang baru saja ia dengar.

Seharusnya ia berada di dalam mobil saat itu. Namun, karena terlalu kesal menunggu Cakra yang lama itulah yang menggerakkan hati Lembayung untuk mencari sang ayah, cinta pertamanya.

Tapi siapa sangka, saat Lembayung hendak mengajak sang ayah untuk pulang, ia malah mendengar sebuah fakta yang begitu mengejutkan?

Kenapa jalan takdir gue kayak gini...?

Tiba-tiba saja sesuatu yang hangat mengalir dari lobang hidungnya. Oh, ternyata dia mimisan. Segera Lembayung mencari tisu agar darahnya tidak semakin mengotori buku.

Setelah hidungnya tak lagi mengeluarkan darah, Lembayung menyandarkan kepalanya ke ujung tembok , melihat berbagai tisu yang dihiasi warna merah berserakan begitu saja di kamarnya.

"Hhh, lemes."

Masalahnya kali ini cukup menguras pikiran Lembayung. Dari semua masalah yang menyebabkannya overthinking, hanya masalah ini yang bisa membuat kesehatannya pun ikut menurun. Ia tak pernah, atau bahkan jarang sekali mimisan. Ini kali keduanya ia mengalami mimisan setelah bertahun-tahun lamanya gadis itu menderita demam tinggi. Bahkan yang sekarang terasa jauh lebih deras daripada tahun-tahun sebelumnya.

"Gue nggak bisa nerima fakta ini," lirihnya. Air mata pun sudah mengering, namun dadanya masih terasa sesak.

Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Gadis itu meraihnya dengan malas. Sesaat, Lembayung terkejut ketika nama pacarnya berada di layar notifikasi. Ia segera mengangkat telepon tersebut dengan suara yang serak.

"Halo?"

"Halo, honey. Hei, what's wrong with you, honey? Siapa yang bikin kamu nangis kayak gini?" tanya Arsen yang sedang mengamati kamar Lembayung dari bawah.

Lembayung kembali terisak. Arsen selalu ada disaat dirinya membutuhkan sandaran, tidak dengan ayahnya yang maniak kerja. "Ayah. Sayang, aku mau cerita... Capek kepalaku, mau meledak rasanya ngadepin masalah hari ini."

Dari bawah, Arsen menyunggingkan senyum tipis. "Hey, honey, ke bar yuk? Minum-minum kita. Di sana kamu bisa bebas ceritain semuanya ke aku."

Lembayung terdiam cukup lama setelah mendengar ajakan dari Arsen. Apa tidak apa-apa dia minum alkohol yang dijual bebas? Karena selama ia hidup, ia tidak pernah menyentuh miras sama sekali.

Harapan di Tahun BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang