Bab 48 : Kehilangan

15 6 5
                                    

"Pak Adam, maaf hari ini Reva gak pulang ke rumah. Tolong bawain aja seragam sekolah buat besok. Bawain ke rumah Dara, ya Pak. Tolong banget, kalau bisa secepat mungkin," ucap Maisha setelah tiba di rumah Adhisti.

Pak Adam menghela napas lega. Bersyukur jika Maisha tidak celaka. "Non ke mana aja tadi? Kenapa gak bilang sama saya kalau mau ke luar? Ini juga sudah pukul 21.00 malam, loh. Anda sedang apa di rumah Dara?" 

"Maaf, Pak. Nyawa Dara lebih penting dari keselamatan Reva. Pak Adam tolong bawain aja seragam sekolah ke rumahnya. Saat ini ada yang lebih membutuhkan Reva, Pak. Ada nyawa yang hampir hilang. Tolong, ya, Pak. Secepatnya dibawakan, nanti Pak Adam jemput aja ke rumah Dara."

"Baik, Non. Akan segera saya siapkan."

Setelah percakapan mereka habis, Maisha meletakkan ponselnya di atas nakas. Tak lama ia arahkan tatapannya memandang Adhisti dengan tajam. "Hari ini aku bakal nginep. Gak mau tahu, aku. Terserah kamu mau keberatan atau enggak. Aku gak peduli."

"Iya, deh. Terserah."

"Kotak P3K ada di mana?"

Adhisti menaikkan sebelah alisnya. "Buat a_"

"Masih nanya kegunaan kotak P3K buat apa? Aku tahu kamu gak sebodoh itu, Dara," sela Maisha masih dengan tatapan marahnya.

"Ada di bawah deket ruang tamu."

Maisha turun ke bawah untuk mencari kotak P3K, sementara Adhisti menghela napas lelah. Ia melihat pergelangan tangannya yang penuh akan luka sayatan. Mungkin memang Tuhan ingin menegurnya bahwa mati bukan akhir untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan.

"Hhh..."

"Siniin tangan kamu."

Maisha telah sampai di kamar Adhisti dan membuka kotak P3K, mencari sesuatu yang mungkin bisa digunakan untuk menutupi bekas luka di pergelangan tangannya.

Adhisti tak banyak bicara. Gadis itu menurut, sesekali meringis ngilu saat Betadine bersentuhan langsung dengan kulitnya.

"Kenapa malah meringis? Itu, kan, perbuatan kamu sendiri yang ngegambar di pergelangan tangan. Kamu ngerti, gak, sih arti di setiap tindakan ada tanggungannya?" tanya Maisha setelah selesai membalut pergelangan tangan Adhisti yang terluka dengan perban. Gadis itu kembali menutup kotak P3K di samping kasur Adhisti.

"Hhh, iya, gue tahu, Masha."

"Terus kenapa meringis? Kan, kamu sendiri yang ngelukis. Kok kamu malah meringis? Harusnya, kan, bisa tahan sama rasa sakitnya."

Adhisti menghela napas. Entah mengapa melihat Maisha yang seperti ini membuatnya sulit untuk membalikkan perkataan gadis di depannya itu.

"Udahlah, sekarang ceritain semuanya ke aku."

"Aih, jadi si Arsen sering banget ngikutin gue ke rumah. Tiap gue pulang, gue selalu diikutin sama dia. Gak jarang dia juga ngirim voice note suara Agha sama lo yang terluka waktu penyerangan mendadak di rumah kalian. Belum lagi dia bilang ke gue kalo Agha anggap gue pilihan kedua. Genap sebulan setelah mereka di skors dari sekolah, Arsen sengaja masuk ke toilet perempuan. Dia hampir lecehin gue, Masha. Untunglah dia cepet pergi."

"Gue sama dia ada hubungannya dengan Lembayung. Hhh, dia adek tiri gue. Anak dari ayah yang sama, tapi beda ibu. Ayah gue nikah lari sama pacarnya waktu gue masih setahun, terus kabur ninggalin gue sama mama saat kondisi mama lagi sekarat. Dulu posisinya gue masih 5 tahun, Masha. Tetangga juga telat dateng. Makanya pas dibawa ke rumah sakit, mama gue udah gak ada. Dan sekarang ayah gue ngelakuin KDRT sama istrinya yang baru. Gue gak tahu tujuan Arsen ngapain sampai berbuat kayak gitu. Tapi yang pasti, hal itu bikin gue tertekan sama ketakutan tiap saat."

Harapan di Tahun BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang