Pagi hari di kediaman Maisha, gadis itu sudah siap dengan pakaian sekolahnya. Rambutnya pun tergerai lurus dan rapi. Ia menatap dirinya di cermin, tepatnya ke arah luka yang Arsen berikan kepadanya.
Tatapan Maisha kosong. Gadis itu menghela napas dan memakaikan plester ke dahi yang terluka. Tak lama, Maisha turun ke bawah untuk sarapan pagi.
Sejujurnya ini terlalu pagi untuk sarapan. Lantaran, waktu masih menunjukkan pukul 05.25 pagi. Tapi tak mengapa, sesekali ia ingin ke sekolah lebih awal.
Rambutnya masih belum ia kepang. Biasanya gadis itu akan mengepang rambutnya 15 menit sebelum berangkat sekolah.
Di bawah, ia bertemu Pak Adam yang sedang berjalan menuju garasi. Maisha menyapanya dengan hangat. "Pagi, Pak."
"Loh? Non Reva? Kok tumben jam segini sudah siap-siap?" tanya Pak Adam.
Diberikan pertanyaan seperti itu, Maisha tertawa canggung. Ia menggaruk pipinya. "Gapapa, sesekali aja pengen paling awal dateng ke sekolah."
Pak Adam terdiam sesaat, kemudian menggelengkan kepala sambil tertawa pelan.
"Ya ampun, Non. Ngomong-ngomong, Non Reva, kepalamu bagaimana? Benar tidak usah diperiksa ke dokter?" tanya Pak Adam.
Maisha menggelengkan kepala dan memamerkan senyuman. "Gak usah, masalah kecil ini mah. Bentar lagi juga sembuh."
"Ya sudah, kalau begitu saya akan panaskan dulu mobilnya. Non Reva silakan sarapan terlebih dahulu."
Maisha mengangguk dan berjalan menuju ruang makan. Di sana sudah berbagai macam makanan. Tentunya yang berkhasiat.
"Hhh, makan sendirian lagi?" gumamnya menarik kursi tersebut ke belakang dan memulai sarapan.
Di rumah megah itu, hanya diisi oleh tiga orang. Maisha, Pak Adam, dan satu pembantu yang biasa membersihkan rumah. Sementara kedua orang tua dan adiknya berada di luar kota.
Kehidupannya serba mewah, penuh harta yang melimpah. Namun, jiwanya terasa sedikit kosong karena orang tuanya sudah lama tidak pulang ke kampung halaman dikarenakan pekerjaan di luar kota yang begitu padat.
Hidupnya kesepian. Keceriaan yang ia umbar hanya sekadar alibi untuk menutupi kesedihan dan rasa kesepian yang menggerogoti hatinya. Ia kembali menghela napas.
"Gak seru, ah. Ngebosenin. Video call Dara aja kali, ya? Biar rame."
Maisha mengambil ponselnya dan menekan tombol panggilan video. Gadis itu menunggu Adhisti menerima panggilan videonya sambil mengunyah makanan.
"Hn?"
Wajah Adhisti yang datar di layar ponselnya, membuat Maisha cekikikan. "Hai, udah mau berangkat?"
"Belum, baru aja selesai pakai seragam. Lo sendiri udah mau berangkat? Btw tumben rambut lo lurus gak di kepang dua," komen Adhisti sambil berkaca di layar.
Maisha refleks memegang rambutnya yang tergerai. Gadis itu mengulum senyuman dan mengarahkan jari telunjuk ke bibirnya. "Belum aku pakai aja kepangan rambutnya. Nanti mau berangkat aku kepang, kok. Cuman kamu doang loh yang tahu rambut aku waktu digerai lurus, jangan kasih tahu siapa-siapa, ya."
"Kenapa gak usah dikasih tahu siapa-siapa? Sama circle kita juga elah. Lagian lo cantik tahu nggak sih kalau lurus kayak gitu," ucap Adhisti dengan wajah datarnya.
Maisha tertawa pelan. "Oh iyakah? Aku keliatan cantik pas gak di kepang? Tapi aku ngerasa gak nyaman. Udah nyaman di kepang dua. Udah kayak ciri khas aku."
Wajah Adhisti semakin datar terlihat. Gadis itu menghela napas sejenak dan membawa ponselnya ke arah dapur. "Serah lo aja, deh. Senyamannya aja. Udah selesai sarapannya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Harapan di Tahun Baru
Fiksi RemajaTahun baru adalah tahun di mana semua orang memiliki banyak harapan. Namun, hanya ada satu orang yang memiliki harapan yang sama dari tahun-tahun sebelumnya. Terlahir tanpa merasakan kasih sayang kedua orang tua di masa kecilnya, membuat Adhisti se...